Dear Mr. Perfect


Dear Mr. Perfect

“ Ayo Dek Ika, buruan beres-beresnya… ntar Mas tinggal lho…! “, tegur Mas Evan untuk yang kesekian kalinya sambil mondar-mandir di depan pintu kamarku.
“ …Bentar Mas, lagian kan masih satu jam lagi acaranya…”, sahutku sambil terburu-buru memasang pin mungil oleh-oleh Mas Evan dari kegiatan mahasiswa di Kuala Lumpur pekan lalu.
“ …udah sana cepat, Mbak… sebelum ditarik paksa sama Mas Evan keluar kamar, he he he…”, celetuk Ecy sambil cengengesan dan kembali menarik selimut tebalnya …
“ …kamu ga kuliah Cy…? “, tanyaku pada saudara sepupu yang lahir satu hari lebih muda dariku itu.
“ Nggak , Kemaren anak-anak bilang Pak Trisno masuk rumah sakit, keracunan es cendol… he he he…”, jawabnya enteng sambil tak lupa cengengesan lagi…
“ Innalillahi…”, ucapku lirih…
“ Dek Ika… !!! “, kembali terdengar suara bariton itu…
“ Iya, Mas… ini juga udah siap… yuk ah…”, jawabku seraya membuka pintu kamar dan menemukan wajah tirus bermata elang itu menatapku tajam…
“ Sory… udah ah ayo buruan…jangan bengong aja…! “, kugandeng tangannya cepat sebelum dia sempat berkomentar panjang lebar lagi soal panjang kerudungku… beratnya tasku… bibir pucat non lipstik di wajahku... dan entah apa lagi yang akan jadi topik untuk dia komentari pagi ini.
“ Kok lama banget sih, Dek…? “, tanyanya penasaran seraya menendang kick starter berulang-ulang…
“ Tadi malam ga sempat nge-print bahan presentasi untuk pagi ini, jadi ya ngeberesin itu dulu, makanya jadi lama… sory deh Mas… “, jawabku memelas dan biasanya setelah itu Mas Evan dengan gaya coolnya akan diam saja…
“ Ayo pegangan yang kuat…”, persis seperti zaman kanak-kanak kami dulu, dengan cepat dan tanpa banyak bicara dia akan mengambil tanganku dan melingkarkannya di pinggangnya. Tak lama kemudian sepeda motor itu pun melaju di jalan utama menuju gerbang kampus…

* $ *
“ Bareng Evan lagi ya, Ka…? “, tanya Mbak Tia yang sedari tadi khusyuk mencermati proposal yang ada di tangannya.
“ Hm, iya nih Mbak… Mas Evan yang maksa, khawatir telat buat presentasi proyek di rektorat katanya…”, jawabku pasrah… sejenak Mbak Tia nampak seperti termenung, namun beberapa detik kemudian ketua bidang PSDM BEM itu telah menghilang dari hadapanku. Apa dia jealous ya…? apa yang perlu dicemburuin, wong seantero kampus sudah tahu kok, kalo aku dan Mas Evan saudara sepersusuan… otomatis mahrom kan !!! , forever and ever aku ga bakalan bisa merit sama do’i…!!!, lagian mana aku tahu siapa yang punya ide menyusukan makhluk handsome itu sama nyokap waktu dia masih baby dulu. Well, yang jelas aku ga terlibat sama sekali dengan peristiwa itu, lahir aja aku belum… begitu juga dengan bagaimana anak-anak seantero kampus bisa tahu tentang status Mas Evan dan aku. Terus terang aku juga rada heran kok berita itu bisa menyebar dengan begitu cepatnya ya…? Ah, memang udah nasib aja barangkali harus jadi makhluk beken, mau bagaimana lagi…
“ Ka… ayo cepat, kamu udah ditungguin briefing di ruang rapat utama tuh… ntar kita-kita ikutan disemprot gara-gara nge_geng dengan dirimu yang lambannya minta ampun…”, dengan semangat 45 Indy, Sofi dan Noni menyeret aku dengan sukses ke ruang rapat utama.
Believe me.. disana emang belum ada siapa-siapa selain Mas Evan dan Mbak Tia. Jaka cs mana pernah sudi nongkrongin kampus pagi-pagi… apa lagi segala sesuatu yang berkenaan dengan kesiapan presentasi di rektorat sudah dianggap fix di rapat terakhir kemaren . Poor Mr. Evan…
“ …Saya kira kita tidak perlu menunggu Jaka dan lainnya, segera saja kita mulai briefing pagi ini…”, dengan tenang Mas Evan mulai memimpin rapat singkat itu… Huh, betul-betul Mr. On Time…Mr. Perfect…
* $ *
Aku dan Mas Evan sebetulnya tidak ada hubungan keluarga secara garis keturunan, tapi karena adik ibunya_tante Ratih menikah dengan adik bungsu ibuku_ Pak Lik Chandra, jadilah kami keluarga karena ikatan perkawinan. Tante Ratih dua belas bersaudara dan keluarga besarnya itu hobi sekali mengadakan acara kumpul-kumpul keluarga di rumah Nek Zahra, Ibu Tante Ratih dan yang pasti juga nenek Mas Evan yang berada tepat di depan rumah keluargaku. Karena bertetangga, hubungan keluarga kami dan Nek Zahra terbilang sangat akrab, terlebih karena ibunya Bunda, eyangku sudah lama wafat.
Sebetulnya sebelum melahirkan aku, Bunda sudah pernah melahirkan, namun bayi mungil itu hanya bertahan dua pekan. Nah, konon ceritanya saat itulah momen Mas Evan sering nebeng nyusu sama Bunda kala ia dititipkan dengan Nek Zahra selama Mamanya mengajar di TK dekat rumah kami.
Semasa kecil aku paling suka main di rumah Nek Zahra. Ini karena rumah kayu sederhana itu punya halaman luas yang di penuhi tanaman bunga dan pohon-pohon buah yang hampir selalu berbuah sepanjang tahun. Belum lagi di halaman belakang ada rumah pohonnya juga yang dibuat oleh almarhum Kakek,suami Nek Zahra. Dengan dua belas anak, bisa ditebak kalo Nek Zahra punya buanyak cucu dan Mas Evan adalah salah satunya. Tapi jangan salah, walau mendekati lima puluhan orang, aku kenal baik lho sama semua sepupu-sepupunya Mas Evan, maklum gini-gini kan aku tetangga yang ramah dan gemar bersosialisasi alias always nimbrung kalo Nek Zahra mengumpulkan anak, cucu dan mantunya. Mas Evan sendiri punya empat orang sepupu yang usianya sebaya dengan dia. Ada Mbak Ningrum yang sekarang kuliah di Solo, Mbak Melati yang baru menikah bulan lalu, Mas Rama yang sering keluar masuk rumah sakit buat cuci darah dan Mas Dian yang sering dijuluki kembaran Mas Evan, lantaran emang mirip banget sama si Mr. On Time.
Well, sebenarnya dibandingkan Mas Evan, waktu kecil dulu aku lebih dekat dengan sepupu-sepupunya yang lain termasuk Mas Dian. Abis… dari kecil udah kelihatan banget kalo bakal menjelma jadi Mr. Perfect, Bah… nggak nyambung banget kan sama aku yang rada slebor… sampe sekarang Mas Dian dan Mas Evan memang rada sulit dibedakan secara fisik, tapi kalo dari kelakuannya jelas Mas Dian lebih manusiawi deh… Mas Dian itu orangnya humoris banget, ga seperti Mas Evan yang jutek abis… , walau keduanya sama-sama baik dan manis, tetap aja ngobrol bareng Mas Dian lebih asyik daripada sama Mas Evan yang lebih sering mengatur pokok pembicaraan pada hal-hal yang dia inginkan saja dan pilih no comment buat hal-hal yang dia ogah membahasnya… Namun sayang sekali, sejak awal tahun kemarin Mas Dian dipindah bekerja ke luar kota, hya jadinya ya jarang bertemu… By the way, Nek Zahra juga sudah lama tidak menempati rumah di seberang lagi. Sejak Tante Ratih menikah dan ikut Pak Lik Chandra dinas ke kabupaten, Nek Zahra lebih memilih ikut putri bungsunya yang baru saja melahirkan cucunya yang kesekian. Sekarang, rumah tua berhalaman luas itu hanya dihuni oleh Mas Evan seorang diri, sedangkan keluarganya dari dulu sudah terkenal nomaden mengikuti tugas Papanya ke Luar Negeri.

* $ *
“ Evan ga diajak makan malam di rumah,Ka…?, hari ini kamu kan masak makanan kesukaannya dia… ”, tanya Bunda.
“ …Biarin ajalah Budeh, ntar kalo laper juga pandai datang sendiri… lagian sejak kapan dia pesan catering sama kita…”, sahut Ecy yang tiba-tiba sudah duduk manis di depanku.
“ Wah, ga bisa gitu Mbak Ecy, Mas Evan itu udah besar banget jasanya buat keluarga kita… ingat ga waktu Bunda kambuh asmanya di tengah malam pas Ayah dinas keluar kota seperti hari ini ?, Mas Evan tuh yang abis-abisan nemani kita ngebawa Bunda ke rumah sakit…belum lagi saat Ozy terancam terlambat datang ujian waktu SD gara-gara perut mules terus dari subuh, Mas Evan juga kan yang bela-belain nganterin ke sekolah dan stand by buat ngejemput lagi, masih banyak lagi deh catatan prestasi Mas Evan buat keluarga ini… pokoknya Mas Evan itu top abis dah…”, puji Ozy, adekku yang baru tamat SD dan emang udah kompak banget sama Mas Evan sejak dia memutuskan untuk tinggal di rumah Nek Zahra beberapa tahun lalu.

“ Ah, andai aja dia ga sempat nebeng nyusu ama Bunda dulu, suer deh Bunda sama Ayah sudah sepakat bakalan ngejodohin kalian…”, sambar Bunda.
“ Ih, Bunda segitunya amat sih… pake acara berandai-andai lagi… ga boleh tuh… dosa lho…, lagian siapa juga yang pengen jadi istri Mr.Perfect kaya Mas Evan, capeeek…”
“ Capek kenapa Dek…? “, tiba-tiba suara itu sudah ada di dekatku… Ih, nih orang ngagetin aja… btw, dia denger apa yang kukatakan barusan ga ya…? Wah, bakal berabe neeeh…
“ Ah, eh… hm…”, aku gelagapan…
“ …capek jadi istri Mr. Perfect ! “, potong Ecy sambil tak lupa cengengesan…
Mas Evan mangut-mangut dan tanpa menunggu dipersilahkan sudah langsung tarik kursi dan duduk di sebelahku… Waduh, kok aku tiba-tiba jadi grogian gini ya… Aih, muslimah sholehah… makanya laen kali jaga lisan atuh, neng…
“ Makannya kok dikit Dek…?, tambah lagi ya… sambal goreng kentang lho… makanan kesukaan kita…”, tanpa diminta Mas Evan sudah langsung menambahkan beberapa sendok sayur dan lauk ke dalam piringku. Tuh kan… sok ngatur gitu… Kalau saja dia bukan saudara sepersusuanku, aku pasti punya alasan untuk menghindar dari segala bentuk dominasinya selama ini. Aku ga perlu pasrah saat disuruh pegangan saat boncengan, aku bahkan punya alasan untuk menolak dia mengantarku ke sana – ke mari dengan motor balapnya itu. Karena non mahrom kan emang ga boleh terlalu dekat begitu… apa lagi sampai bersentuhan kulit segala. Rasulullah kan pernah bilang kalo lebih baik kepala tertusuk besi daripada harus bersentuhan dengan yang bukan mahrom, but look at me now… tanpa rasa segan Mas Evan ngebantuin aku mencuci piring, sesekali tangan kami bersentuhan dan aku jadi deg-degan karenanya… Well, andai dia bukan saudara sepersusuanku, aku benar-benar harus berjuang agar tidak dihinggapi penyakit hati setiap kali berdekatan dengannya… lihat saja, tangan itu… mata itu…senyum itu… walau rada cool dan perfeksionis abis… sejujurnya aku suka… mungkin karena telah terbiasa bersama… Robb, Help me please dech…
Hm, kenapa jadi giliran aku yang berandai-andai seperti ini… mungkin Bunda benar, kalau saja dia bukan saudara sepersusuanku… aku sebaiknya buru-buru jadi isterinya, biar gemuruh di dada ini bisa lebih ditentramkan… Ugh, GR… kalau dia ga mau jadi suamiku gimana…?, refleks kutekuk wajahku …
“ Kok manyun Dek…? “, tanyanya seketika dengan nada datar, sedatar wajahnya… Aku terjaga, Ya ampun… cermat sekali dia menganalisa perubahan wajahku, padahal dari tadi kelihatannya cuek-cuek saja… dan kata-kata ‘ Dek ‘ itu…sepanjang ingatanku…hanya dia orang yang betah memanggilku dengan sebuatan ‘Dek’ atau ‘Dek Ika‘, bahkan Mas Dian sekalipun lebih suka memanggil aku dengan sebutan ‘Ika’ saja… cepat aku menggeleng dan menghadiahkannya sebaris senyum sebelum dia berkomentar sesuatu yang memaksa aku untuk benar-benar manyun…
Tiba-tiba dari arah luar…
“ Ika, Evan… lihat siapa yang datang nih…”, Bunda mengejutkan kami dengan sosok kharismatik yang digandengnya…
“ Nek Zahra….”, aku menghambur ke arah wanita tua yang sangat kurindukan itu… Nek Zahra membuka lebar-lebar lengannya untukku dan sesaat kami saling berpelukan…
“ Nek…kok lama sekali sih meninggalkan kami, Ika kan kangen sama Nenek…”, dengan manja aku meletakkan kepalaku di bahunya…
“ Iya ya, tak terasa sudah hampir lima tahun… “, dia membenarkan ucapanku seraya membelai jilbab biru muda yang kukenakan.
“ Gimana kuliahmu… ? Nenek berharap kalian sudah diwisuda saat Nenek kembali…”, tanyanya lagi…
“ Mas Evan hampir beres, cuma karena masih aktif di BEM jadi ya masih harus menunggu satu semester lagi, tapi Mas Evan sudah bekerja Nek… jadi editor di penerbitan Islami, hebatkan Nek…! Nah, kalau Ika sih baru mau turun penelitian minggu depan…”, jawabku… Mas Evan diam saja… dia emang agak kurang ekspresif, kebalikan dari aku…
“ Yah, semakin cepat semakin baik… jadi kalian bisa segera menikah…”, jawab Nek Zahra santai sambil memamerkan senyumnya yang menawan…
“ Hah…?!?! “, semua terkejut mendengar apa yang diucapkan Nek Zahra…,Ecy dan Ozy berteriak paling kencang, namun Bunda yang paling kentara. Hampir saja wanita paruh baya itu menjatuhkan vas bunga keramik yang baru ditatanya dengan Bunga Lili oleh-oleh dari Nek Zahra. Tak ketinggalan Mas Evan sendiri tampak gagal menyembunyikan keterkejutannya mendengar apa yang baru dikatakan oleh Neneknya. Wajahnya memerah seketika, gimana dengan wajahku ya… berjuta istighfar berebutan basahi bibirku, jantungku berdegup kian kencang…
“ Tapi Nek, Evan dan Ika kan saudara sepersusuan… apa Nenek lupa, saya dulu sering menyusukan Evan ketika putera pertama saya yang sebaya dengannya meninggal dua puluh tiga tahun yang lalu…”, Bunda coba mengingatkan Nek Zahra yang masih tersenyum menyaksikan keterkejutan kami…
“ Lestari… Lestari, Kamu ini gimana toh, penyakit lupa kok dipelihara bertahun-tahun… yang kamu susukan dulu itu kan Dian,cucuku yang lain… Evan ini kan paling jarang main ke sini karena ikut ayahnya bertugas dari negara yang satu ke negara yang lain…, baru lima tahun terakhir ini toh dia menetap disini… Ayo ingat-ingat lagi… aku itu hafal banget lho sama cucu-cucuku dibandingkan kamu…”, papar Nek Zahra panjang lebar… refleks Bunda menepuk dahinya, wajahnya bersemu merah, dia jadi salah tingkah dan tampak ga enak hati menghadapi Mas Evan…

“ Aduh, Van… maafin Tante ya…karena Tante yang cerita ke kamu kalo kamu dulu itu pernah nyusu sama Tante… padahal yang nyusu dulu itu Dian, bukannya kamu… Aduh, Tante benar-benar lupa, habis tidak hanya wajah kalian yang mirip, sekalipun bukan saudara kembar wajah ibu-ibu kalian kan juga sangat mirip, aduh gimana ini…?!?! ”, tampak Bunda gelisah sekali, karena selama ini telah memberi lampu hijau pada aku dan Mas Evan untuk bebas berdekatan layaknya saudara kandung … kali ini dia ganti menatapku dengan pandangan bersalah dan mohon dimaafkan… dan sekarang malah aku yang kebingungan harus bersikap bagaimana, bayangan-bayangan masa lalu antara aku dan Mas Evan sudah cukup membuat aku stress… bagaimana mungkin aku yang setengah mati menjaga hijab begini dengan santainya selama bertahun-tahun rela disentuh oleh laki-laki asing yang selama ini selalu kuanggap sebagai mahromku sendiri… Ya,Robb… ampuni hamba_Mu yang dhoif ini… pertahananku terasa semakin melemah dan air mata ini sudah bersiap-siap akan terjun bebas… ketika tiba-tiba…
“ Egh, hm…iya nih Nek… rencananya memang akhir bulan ini saya sudah berencana mau melamar Ika…”, …sebuah kalimat ajaib meluncur begitu saja dari mulut Mas Evan, sebelum keadaan kembali stabil di antara aku, Bunda dan Nek Zahra. Kontan semua mata menatap ke arah wajah datar itu yang kali ini tampak lebih berekspresi… dan ga main-main, kutemukan ekspresi sungguh-sungguh itu tergambar utuh di sana dan aku hanya bisa membalasnya dengan tertunduk malu menyembunyikan kepiting rebus yang mejeng di wajahku…
“ Wah, ide brilian tuh…”, celetuk Ecy…
“ Siiip, sudah lama kita ga ngadain acara kumpul-kumpul keluarga, nee… “, sambut Ozy antusias…
“ Benar juga, tapi kali ini sepertinya kumpul-kumpulnya tidak di rumah depan, tapi di sini saja ya… Nenek khawatir rumah tua itu bakal roboh karena awal tahun depan baru akan direnovasi…” usulnya…
“ Nevermind, Neeek… yang penting, makan-makan…”, seru Ozy dan Ecy berbarengan…
“ Tapi tunggu dulu, masih ada satu masalah…”, tiba-tiba Mas Evan berdiri dan menghentikan kehebohan yang baru saja mengguncang rumah kami...
“ Ada apa lagi Van…? “, tanya Nek Zahra yang kali ini giliran terkejut oleh tingkah cucunya yang ganteng itu...
Evan menarik nafas panjang dan perlahan melangkah mengambil posisi di tengah-tengah ruangan, persis seorang aktor kawakan yang sedang mendramatisir keadaan…
“ Hm, masalahnya… Dek Ika belum menjawab Nek… apa dia bersedia saya lamar atau tidak…”, jawab Mas Evan tenang… kurasakan wajahku kian memerah… Awas kamu ya, Mas…bisikku dalam hati…(Pontianak,28 Mei 2005,01:45 WIB)

1 komentar:

Ayka Bunda Azka mengatakan...

ini nulisnya waktu kenalan ma kawan baru dari jawa barat... dia orang balai bahasa gitu, kita suka diskusi cerpen...eh, jadi semangat nulis cerpen saat itu...
dan jadilah Dear Mr.Perfect...dikomen dunk...make senses ga sih ceritanya...

Design by Blogger Templates