Telur Dari Ayah



Telur Dari Ayah

(Afra Z. Rifai)


Telur itu hanya satu, sengaja langsung kumasukkan ke dalam piring makan suamiku yang kali ini berisi nasi goreng dengan sedikit bumbu cabe ditambah sesendok kecap manis.” Hmmmm, nikmat sekali... telur mata sapi memang jodoh yang pas untuk sepiring nasi goreng hangat yang sungguh menggiurkan ini... ”, mata suamiku yang kocak tampak berbinar mendapati sebuah telur mata sapi menghiasi piring sarapan paginya... dan seperti biasa aku cuma nyengir saja mendapati suamiku yang tampak sangat bersemangat menghabisi sepiring nasi goreng yang telah kusiapkan untuknya.
Selepas sarapan kuantar suamiku sampai ke depan pintu, tiba saatnya ia berangkat bekerja , tidak kurang setengah jam lagi suaranya akan segera mengudara di sebuah stasiun radio lokal. Yah, Ari_suamiku memang seorang penyiar sedang aku sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di rumah menulis artikel untuk majalah dakwah lokal yang baru beberapa bulan ini kuusung bersama teman-teman sekolahku dulu...Selepas kuiringi kepergiannya dengan lambaian tangan dan doa kembali kuhampiri notebookku yang sedari ba’da shubuh tadi sudah kuaktifkan. Setelah ma’tsuratan seraya menunggu nasi tanak biasanya aku mulai menuliskan sebaris dua baris ide untuk kalimat utama mengawali tulisan demi tulisanku buat penerbitan bulan depan.Penerbitan bulan lalu memang tak bisa dikatakan berhasil, maklum baru terbit dua kali dengan promosi ala kadarnya pula. Oleh karenanya aku tak berani berharap banyak untuk fee dari hasil diterbitkannya beberapa tulisanku pada majalah itu. Sekedar untuk mengisi pulsa dan ongkos ke warnet sudah kusyukuri sekali mengingat usia media ini yang masih begitu belianya.Kulirik digital clock pada sudut notebook second hadiah dari Ari di ulang tahun perkawinan kami yang pertama. Ups, sudah pukul 10... ada baiknya aku sholat dhuha dulu sebelum melanjutkan mempersiapkan hidangan santap siang. Hhhhaaaahhh santap siang..., tanpa sadar bibirku menyungging sarat arti bersamaan dengan helaan nafas panjang mengangkat himpitan rasa pada sesak di dada yang hampir sepekan ini aku rasa... sejenak kubelai lembut perutku yang kian membesar, ada anugerah terindah dari Allah yang sedang berproses menuju penciptaan terbaik di dalam rahimku. Cinta... maafin bunda yaa, belakangan hari ini agak kurang memperhatikan asupan gizi yang harusnya bunda makan untuk kita... Sungguh, Bunda ga bermaksud begitu... tapi uang yang bunda pegang untuk kelola memang semakin menipis padahal masih kurang lebih sepekan lagi menjelang awal bulan. Ada dua kegiatan remaja masjid yang menurutku cukup penting dan membutuhkan dana yang lumayan, Bunda ga tega kalau harus membebankannya pada adik-adik yang sebagian besar masih pada sekolah dan kuliah, sedangkan uang kas kami sudah masuk siaga satu karena habis diperuntukan buat perbaikan atap sekretariat yang semakin parah bocornya di musim penghujan ini... Bunda harus berhemat sayang...kembali kuhela nafas perlahan... Ups, waktu berlalu cepat dan aku harus bergegas menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah tangga yang sudah menjadi rutinitasku, pukul setengah dua nanti ada pengajian adik – adik kampus disini, tak jarang hingga menjelang magrib mereka baru pada bubaran, biasalah curhat dinamika dakwah kampus yang tantangannya juga tak kalah seru dari waktu ke waktu...Tepat selepas sholat dzuhur, Ari memarkir honda primanya di teras kontrakan kami. Ada rasa lega karena semua telah kuselesaikan dengan baik... kucium punggung tangannya dengan lembut. Adhari Fachrindra, lelaki sederhana yang telah begitu indah Allah izinkan mengisi hari – hariku dan menjadikannya penuh dinamika, meski terkadang agak cuek..., sering kali sibuk sendiri dan kurang memperhatikan hal – hal kecil seperti... hm, kapan terakhir kali aku makan telur, hehehehe...” Hmmmm.... harumnya sampai ke teras depan, bunda masak apa ya...? ”, tanyanya dengan senyum lebar ...” Tumis teri pake cabe ijo sama bening pakis plus jagung manis,Sayaaaang... ”, jawabku seraya menggandeng tangannya menuju dapur mungil kami.” Hmmm, yummmi...! ”, serunya... senyum manis mengambang di bibirku, Ah Ari memang tak pernah mengeluh atas apapun yang kusajikan untuknya, syukurku padaMu ya Robb....Kami duduk berhadap – hadapan dengan mangkuk lauk dan sayur tersaji diantara kami. Tiba – tiba Ari mengambil sesuatu dari saku jaketnya yang ia sampirkan pada paku di balik dinding kamar kami.” Hmmm Bunda, Ayah ada bawain bunda sesuatu... tolong jangan ditolak, ini juga buat cinta kita yang di perut Bunda lho...”, aku tertegun menatap sebentuk telur yang ia arahkan padaku. Ayah...” Hm Yah, kita bagi dua aja yuk...”, tawarku.... Ari menggeleng...” Ini untuk Bunda...Ayah sudah bela – belain membelikannya untuk Bunda jadi tolong Bunda makan ya... Ayah perhatikan beberapa hari belakangan ini Bunda agak kurang memperhatikan asupan gizi Bunda, sehari – hari hanya makan teri dengan dalih kaya kalsium...Ayah tahu pengeluaran kita untuk bulan ini cukup besar, dan Ayah juga belum dapat menambah pemasukan... Alhamdulillah Ayah dapat bonus dari rekaman iklan pekan lalu, makanya ayah ingin Bunda belikan susu yah, kan sudah habis sejak beberapa hari lalu...”, Ari menyodorkan selembar uang dua puluhan ribu untukku.... Ayah...aku tergugu...tak menyangka, betapa ternyata ia sangat memperhatikan keadaanku... Ari maafkan aku...

0 komentar:

Design by Blogger Templates