Pintu Hati Bidadari


PINTU HATI BIDADARI
Eka D.Rifai


Benar-benar di luar dugaan aku bisa sampai di kota ini. Beberapa hari yang lalu aku masih dengan keyakinanku bahwa tidak akan ada seorang pun yang dapat mewakili wilayah redaksi kampus kami karena terus terang saja sekarang ini kami sedang dalam kondisi pendanaan yang serba sulit. Alasan klasik memang… tapi memang begitulah keadaanya, uang kas hanya cukup untuk penerbitan bulan ini, sedangkan untuk biaya-biaya dokumentasi dan liputan kembali harus menagih keikhlasan awak redaksi yang sudah setor komitmen di awal bergabung bersama kami. Jangan tanya kukemanakan uang gajiku bulan ini… karena sebagian besar telah dibudget untuk berbagai kegiatan sosial di daerah tempat tinggalku dan di kampung asal kelahiranku.
Well, sebetulnya ini bukan untuk pertama kalinya aku menyeberangi laut meninggalkan kalimantan menuju pulau jawa dengan kepentingan menghadiri pertemuan para penulis dan jurnalis kampus, tapi sungguh keberangkatan kali ini benar-benar suatu kemudahan yang tak putus kusyukuri.
Bisa meninggalkan kota barang sejenak setelah apa yang kuhadapi rasa-rasanya seperti mimpi saja. Sungguh aku tak bermaksud lari dari masalah, tak bermaksud menghindar dari kenyataan hidup, aku hanya butuh waktu untuk menarik nafas panjang-panjang sebelum akhirnya kembali menenggelamkan diri dalam kubangan kebimbangan yang menyesakkan dada.
“ …jadi keputusannya gimana,May…?”, terngiang pertanyaan Mbak Farah, sehari sebelum keberangkatanku.
“ Afwan Mbak, masih gelap nih… belum bisa istikharah, masih halangan…”, jawabku apa adanya… Aku menangkap ketidakpuasan Mbak Farah pada jawabanku. Aku menghela nafas…
“ kamu tahu May, kenapa Mbak tidak butuh waktu lama untuk menanyakan sejauh mana perkembangan ta’aruf kamu dan Fernanda… karena kalian telah saling mengenal sebelumnya…Mbak bahkan punya keyakinan proses ini tidak akan memakan waktu lebih dari satu bulan, karena Mbak menilai kalian telah sama-sama siap secara keseluruhan… atau mungkin Mbak salah…?, masih ada salah satu diantara kalian yang tidak siap untuk melengkapkan proses ini sampai ke jenjang yang semestinya…? “, tanya Mbak Farah tajam… aku terpaksa membuang pandangan,lagi-lagi menghela nafas yang tercekat diantara kerongkongan… aku benar-benar merasa tidak nyaman… kalau saja Mbak Farah bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang, dia mungkin akan stop bertanya dan kembali memberikan aku jedah waktu untuk aku menata perasaanku… menata cara pandang dan tiap sudut hatiku pada seorang Gusti Fernanda Adyachsa… ikhwan yang sudah begitu aku kenal… sudah begitu aku hafal… Mbak Farah benar, tanpa ta’aruf pun sebetulnya aku telah mengetahui laki-laki seperti apa yang kini menjalani proses denganku, tak perlu waktu lama… hendaknya segera kuputuskan : lanjut atau the end…
Semilir angin di penghujung musim kemarau membuyarkan ingatanku pada sepenggal dialog antara aku dan Mbak Farah saat aku berpamitan akan meninggalkan kota untuk menghadiri acara ini. Sapaannya menggerak-gerakan ujung jilbabku beserta pucuk-pucuk dedaunan pohon alpukat yang menaungiku dalam teduhnya. Kutekan tombol sleep pada keyboard notebook milik redaksi yang kubawa untuk sekaligus meliput berlangsungnya musyawarah nasional, dari jauh kulihat Erin berjalan cepat sambil membawa dua gelas minuman menuju kearahku.
“ Minum dulu Mbak, mumpung masih break…nanti ga sempat lho kalau kita udah disuruh balik ke ruang sidang…”, Erin menyodorkan gelas di tangan kanannya kepadaku… gadis belia yang baru saja lulus orientasi dan pelatihan jurnalistik tingkat dasar itu sudah kuakui talenta dan dedikasinya, sekarang tinggal tugasku mengkadernya menjadi seorang jurnalis handal yang akan melanjutkan estafeta Warta Jaya Tanjungpura, media strategis milik kampus yang dikelola sinergis oleh pihak rektorat dan mahasiswa.
Aku mengambil gelas yang disodorkan Erin dan mengucapkan terima kasih padanya. Sesaat kusandarkan punggungku pada batang besar pohon alpukat yang masih setia menawarkan kerindangannya ‘tuk kunikmati. Sebagai dosen baru, aku dipercaya penuh oleh pihak rektorat untuk mengelola WJT, selain karena selama kuliah dulu aku memang telah bergelut di sana, pihak rektorat juga menitip harap kaderisasi jurnalistik bisa berjalan lebih dinamis dari sebelumnya.
Sebuah SMS masuk : sedang apa bidadari ?, aku hampir tersedak membacanya. Segera kuhapus sebelum perutku benar-benar menjadi mulas dan berangsur mual menohok ulu hatiku. Tak perlu dua tiga kali mengecek siapa pengirimnya, dengan gampang langsung bisa kutebak. Refleks kumatikan ponsel, karena bisa kupastikan tak lama kemudian akan terdengar nada dering berstatus panggilan tak terjawab alias miscall bersumber dari benda mungil yang kini ada di genggamanku. Fernanda… kapan antum akan berubah…? Hatiku jeri…aku bisa memaklumi bahkan sangat bahagia jika SMS bernada seperti tadi dikirim oleh seseorang berstatus legal sebagai suamiku, tapi Fernanda…? lelaki yang telah entah berapa ribu kali mengirimi SMS serupa pada lebih dari seorang akhwat…?
Aku tak ingin dikatakan munafik… sebelumnya kuakui betapa aku pernah sempat berbunga-bunga kala menerima SMS bernada serupa olehnya beberapa tahun yang lalu… hingga kusadari semua kebodohan itu hanya akan menjadi investasi penyakit hati yang lambat laun akan menahun dan mengakibatkan hatiku kian berkarat… aku tak mau… aku malu pada_Mu…
Sidang hampir selesai, dinamikanya bisa ditebak dan aku menikmati. Seperti mimpi masih dapat menikmati semua ini. Kufikir dengan selesai kuliah tiga setengah tahun disambung menjadi dosen honorer, karirku di WJT tamat sudah. Ternyata Prof. Helda Safina faham betul kafaahku dan kembali mempercayakan aku berkecimpung di sana.
“…dengan satu catatan Dik Mayantika, kaderisasi harus lebih mantap secara kuantitatif juga kualitatif “, pesannya padaku suatu hari.
“…secara kuantitatif tentu saja ga perlu Mbak jelaskan, tapi secara kualitatif, Mbak yakin kamu pasti mengerti kualitas yang seperti apa yang Mbak harapkan…”,tegasnya padaku.
Kami memang sudah sangat dekat sebelum aku dia minta menjadi asistennya. Ketika aku baru masuk kuliah, dia juga baru kembali dari studi S3_nya di Aussie. Sewaktu kuliah S1 dulu beliau terhitung sebagai aktivis dakwah dengan jam terbang cukup tinggi, dan kini beliau semakin memantapkan diri pada posisi ADK permanen. Wanita yang penuh percaya diri, santun dalam bertutur kata, apik berbusana bahkan sejuk dipandang mata dengan balutan jilbab yang selalu turun menutupi dadanya. Usianya sudah lewat tiga puluh, tapi entah mengapa belum ada seorangpun lelaki sejati yang mau melangkah tegap meminta kesediaan wanita terhormat itu menjadi istrinya.Tak terhitung entah berapa kali aku sempat berfikir ingin cabut dari kelompok ta’lim rutinku karena kebodohan dan sifat labilku yang melemahkan semangat amal jama’i, namun berkali-kali pula dia berhasil menggagalkan niatku yang emosional itu.
“ …Mayantika Mustafa…? “, tegur sebuah suara dengan nada meragu… Aku menghentikan langkahku, Erin ikut berhenti dan segera memutar tubuhnya yang bongsor…
“ …Hm, Mas siapa ya…? “, tanyanya mewakiliku. Perlahan aku pun memutar tubuhku dan menemukan wajah itu…
“ … iya, tentu saja… Maya !, apa kabar May…”, serunya antusias…
“ Hm, baik… kamu sendiri, kok aku baru ketemu kamu hari ini…? Apa kamu peserta sidang juga…? “, tanyaku penasaran…
“ Bukan, aku kan pernah bilang aku ga bakat jadi penulis… aku ngajar di sini… tepatnya menjadi laboran Lab. Komputer. Yuk mampir ke ruanganku, aku kenalkan dengan staf-stafku yang lain… “ , ajaknya bersungguh-sungguh…
Aku masih diam saat dia meyakinkan kalau ruangannya tak jauh dari tempat kami berdiri…
“ Ayolah… tak baik bicara di tengah koridor kampus begini, mengundang perhatian…”, tegurnya.
“ Yuk Mbak… lagian kita kan tidak sedang terburu-buru…”, ajak Erin polos… tak ada alasan untuk menolak, akhirnya kami bertiga sama-sama menuju ruangan mewah ber_AC yang dipenuhi puluhan komputer tempat Egy bekerja.
“ Ini Yogan, asistenku yang khusus menangani operasional internet, nah itu Ferdy, administrator lab yang rapi jali urusan pengarsipan dokumen dan sejenisnya… nah yang di sana, yang sedang khusyuk bersembunyi di balik monitor, namanya Jaka… sepertinya sedang menyiapkan bahan untuk mahasiswa tingkat satu praktik sore nanti… masih ada dua orang lagi, Mini dan Nola, mungkin masih istirahat di kantin…”, Egy mengenalkan aku pada satu per satu stafnya di lab, mereka semua ramah. Erin tampak sangat bergairah melihat-lihat aneka hardware, koleksi lab ini. Dengan cepat dia sudah mulai beradaptasi dan kini sedang terlibat diskusi seru bersama Yogan, Mini dan Nola, kedua staf Egy yang baru saja kembali dari Kantin.
“ Sungguh sebuah keajaiban kita masih diberi kesempatan bertemu kembali…”, lembut suara Egy mengambil alih perhatianku dari suka cita Erin terdampar di tempat ini.
“ Hm, ya… lumayan juga… sejak perpisahan di Aula sekolah lima tahun lalu…”, jawabku sekenanya.
“ …kudengar kamu direkrut Dr. Helda menjadi staf pengajar di kampusmu, salam ya buat beliau…”, Egy kenal Dr. Helda…?
“ Kalian saling mengenal…? “, tanyaku.
“ Yup, beliau yang merekomendasikan aku menangani lab.komputer ini pada Prof. Rochima… ini lab baru, sebelumnya lab komputer kami amat mengharukan, tapi setelah dibenahi oleh pihak dekanat mereka lantas mambutuhkan seorang maneger yang dapat mengelolanya secara profesional. Dr. Helda yang kebetulan mantan teman sekelasku di pusdiklat pelatihan komputer dua tahun lalu merekomendasikan namaku pada Prof. Rochima_Pembantu Dekan II yang kebetulan sahabat karibnya, dan mereka setuju setelah terlebih dahulu mengadakan fit and proper test padaku…, Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar… dan beginilah aku yang sekarang… karena kesibukan juga, akhirnya aku mundur dari sekolah dan berhenti mengajar di sana… kau pasti pernah mendengar aku sempat kuliah nyambi jadi guru honorer di sebuah sekolah swasta terkenal kan…? ”, tanyanya meyakinkan, dan aku mengangguk mengiyakan…
“… betul-betul pertolongan Allah itu sangat dekat May, padahal saat itu keluargaku sedang tertimpa musibah dan butuh banyak biaya… Kondisi Ibu kian payah dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Sejak ayahku wafat, ibu memang tampak kurang memperhatikan kesehatan dan bekerja terlampau keras untuk membiayai Ragil dan Gilang yang saat itu bersamaan akan melanjutkan sekolah… Ragil masuk SMA,sedang Gilang mau masuk kuliah…”, tiba-tiba aku teringat sosok Fernanda, dalam hal ini dia jauh lebih beruntung dibanding Egy. Kedua orang tuanya sehat wal afiat, Mbak Venna_kakaknya pun terbilang cukup berhasil membangun rumah tangga yang relatif mapan di bilangan komplek elit kota kami. Tapi tentu saja ini tidak berarti aku berhak membandingkan keduanya… Egy, my man from the past dengan Fernanda yang sedang berproses denganku saat ini…
Tak bisa kupungkiri kebersamaan antara aku dan Egy selama tiga tahun di doormitory schooll sedikit banyak telah melukis sudut-sudut hati ini dengan aneka indahnya warna. Bermula pada saat kami sama-sama masih berkubang dengan ideologi jahiliy sampai akhirnya hidayah itu datang dan memberi energi besar pada kami untuk melangkah hijrah… masa-masa penuh ghiroh dan semangat berislam. Egy sempat menjabat sebagai ketua rohis sekolah kami, orientasi dakwah dalam hidupnya begitu kental masa itu. Tak perlu disangsikan lagi, Egy menjelma menjadi sosok yang amat idealis… amat religius. Aku sendiri sempat futur beberapa kali dan yang terparah memang saat baru memasuki dunia kampus, namun syukurlah Allah mempertemukan aku dengan sosok Helda Safina yang menyejukkan kalbu.
“ Kamu sudah ber…”, Egy mengurungkan kalimatnya…
“ …sedang dalam proses… belum ada keputusan…”, kujawab apa adanya pertanyaan yang terganjal di lisannya.
“…semoga berjalan lancar…tapi kalau tidak pun, aku berharap kau dapatkan yang terbaik,May…”, balasnya lirih…
“ …terima kasih, kau sendiri…?”, aku balik bertanya…
“ Aku… belum sempat memikirkan hal itu… Aku… masih begitu banyak urusan untuk dikerjakan… setelah Lab ini, masih ada beberapa proyek besar lain yang harus segera dikerjakan… lagi pula, gajiku hanya pas-pasan untuk makan… belum cukup untuk sekedar mencicil rumah komplek, kendaraan pun masih yang lama… belum ada rezeki untuk mengambil kredit mobil. Well rencananya sih bulan depan… Masih begitu banyak yang harus dikejar, sebelum akhirnya menetapkan gadis mana yang tepat mendampingiku nanti…”, Egy mencuri pandang ke arahku… Aku terhenyak, begitu banyak yang telah berubah dari cara memandang hidup seorang Egidyanto Azkary… cita-citanya… planning masa depannya… hanya sedangkal itu sajakah… ?
“…kalau kau bersedia menungguku… Maya, aku berjanji akan berusaha lebih keras dari hari ini…lima tahun berlalu tak mengurangi sedikit pun kecantikan yang terpancar di wajahmu… mata itu… bibir itu… bangir hidungmu… postur tubuhmu… “, tiba-tiba perutku mual tak tertahankan… mual yang lebih dashyat dibandingkan ketakberdayaanku kala menerima SMS Fernanda beberapa waktu lalu… aku berlari ke toilet meninggalkan Egy yang bengong dengan perubahan rona wajahku yang serta merta memucat pasi…
Air mataku tumpah tak terkendali… Robbi, begitu matematiskah ukuran-ukuran yang dimintai para lelaki… aku terhuyung ke belakang… dengan setengah tenaga yang tersisa,kusandarkan tubuh ini pada pintu,dibaliknya ada Egy yang mengetuk penuh energi kecemasan…
Bayangan Dr. Helda melintas utuh begitu saja di hadapanku. Sosok wanita bertubuh gemuk yang memiliki tinggi badan pas-pasan. Hidungnya tidak terlalu mancung ke dalam dengan gigi yang agak kurang rapi bahkan terkesan bertumpuk-tumpuk. physicly memang terlihat kurang menarik , ditambah lagi dengan bekas-bekas jerawat yang memenuhi permukaan pipinya semakin mendukung kesan tak terawat di wajah itu. Namun di balik kaca mata tebal yang selalu setia menemaninya… ada tatap teduh yang menentramkan, ada kehangatan wanita yang penuh cinta dan kasih sayang… Ah, karena kekurangan-kekurangan secara fisik itukah mereka enggan datang padanya… Astaghfirullah, Robbana… kumohon lenyapkanlah segala prasangka buruk yang penuhi isi kepala ini…
Seketika itu pula baris demi baris tulisan Fernanda dalam proposalnya bermunculan memenuhi memori di kepalaku…

Ukh, anti merupakan sosok yang membangkitkan segala inspirasi, motivasi dan yang tak kalah penting : imajinasi.
(sedemikian pentingnyakah sebuah imajinasi…?)

Ana sangat mengagumi tulisan-tulisan anti, jelas di sana menggambarkan sosok wanita cerdas yang penuh dedikasi, cermat dalam menganalisis dan kaya akan empati dalam menyikapi problematika multi dimensi…
(benarkah…???, rasanya terlalu berlebihan …)

Ukhti, ana bisa membayangkan betapa perfect_nya benih yang akan terwujud dari kolaborasi tangguh kita berdua… kecerdasan anti… keberanian ana… kecermatan anti… kesigapan ana… kecantikan anti… kegagahan ana…
(Istighfar Akhi… bagaimana jika Allah berkehendak lain…?!?! )

Aku benar-benar tak kuasa bertahan lebih lama lagi. Semua persendianku tiba-tiba saja melemah. Terakhir kurasakan tubuhku kian merosot ke lantai… di luar masih terdengar kegaduhan itu… Erin, Egy dan entah siapa lagi serempak panik meneriakan namaku… memintaku membuka pintu… Hya,tolong bukakanlah aku pintu … buka juga pintu hatiku…

Pontianak, 17 Maret 2005, 23.45 WIB

0 komentar:

Design by Blogger Templates