Madu









Madu

“ …Bunda serius…? “, tanyaku tergagap… dan serta merta wajah teduh di hadapanku mengangguk mantap sembari mengurai senyum pada bibir mungilnya yang menawan...
“ Bunda sudah punya calonnya…? “, tanyaku lagi… dan kembali pemilik wajah teduh itu mengangguk mantap.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan… wajah teduh itu masih menatapku lembut… menunggu kelanjutan reaksiku.
“ Bunda, gimana kalo kita nggak usah bicarain tentang hal ini sekarang ?, Ayah capek sekali…”, elakku…Bunda…Bunda…ada-ada aja… nggak ada hujan nggak ada badai tiba-tiba nawarin madu…
“ Ayah, tolong difikirkan ya…!!!”, bisiknya lembut ke telingaku sesaat sebelum aku buru-buru memejamkan mata… tanda tak ingin diajak bicara lagi malam ini…
Allah Rabbi… hanya mata yang sanggup terpejam, namun seluruh jiwa dan raga ini menolak untuk beristirahat dengan tenang…
*
Kuputuskan untuk menemui Ust. Rayyan segera… aku butuh pendapatnya sebelum mengambil keputusan besar ini. Aku sengaja menyegerakan pertemuan ini karena aku kenal betul watak Yanti, istriku. Dia pasti akan terus mengejar jawaban dariku dan belum akan berhenti sampai aku menunjukkan sikapku dengan tegas .
“ Ustadz, saya tidak yakin saya mampu… sungguh ini bukan berkenaan dengan masalah finansial, melainkan masalah hati… saya tidak yakin saya mampu berbuat adil dalam memberikan perhatian & kasih sayang pada keduanya…“, tuturku dengan perasaan galau…
“ Bagaimana mungkin kamu bisa mengambil kesimpulan secepat itu sedangkan kamu bahkan belum mengetahui siapa calon istri keduamu…”, tanya Ust. Rayyan menyambut galauku…
“ saya memang belum mengenalnya ustadz… tapi ini tetap terasa begitu berat bagi saya… saya sangat mencintai Yanti, Ustadz… saya khawatir jika keputusan ini kelak malah akan melukai hatinya…”, aku menunduk…
“ Setyo…Setyo, bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau ide ini muncul dari istrimu… jika Yanti saja mampu menyampaikan ini dengan hati yang tenang dan lapang dada…maka apa lagi yang kau khawatirkan…? Bukankah sebaliknya, jika kau menolak tawarannya dia justru akan kecewa…? “, Ust. Rayyan mengingatkanku…
Aku hanya bisa menarik nafas panjang… hya, inilah resiko menikahi wanita istemewa… aku sebetulnya memang sudah harus mempersiapkan diri sebelum saat-saat seperti ini tiba…
“ Ustadz… saya… saya kira saya butuh waktu untuk berfikir…”, aku berlalu dari hadapan lelaki paruh baya yang telah begitu banyak mengajarkan aku arti hidup dan kehidupan…yang juga telah begitu sabar membimbing aku dalam menapak jalan hidupku.
Hatiku kalut… telah waktunyakah tiba giliranku…, setelah Johan, Hary, Fahmi dan Bagus… kini masaku untuk mengikuti jejak mereka, mengambil madu untuk istriku…
Jika Johan harus dengan sabar menjelaskan perihal ini pada Maya, istrinya… jika Hary harus mengalami fitnah yang begitu pahit di lingkungan tempat tinggalnya… dan jika Fahmi harus berhadapan dengan keluarga besar pihak istrinya, Bagus pun harus tegar dengan kebekuan putra-putrinya… maka aku… aku harus pula siap menghadapi tribulasi yang akan datang kepadaku karena keputusan besar ini.
Aku baru saja mengabari Yanti kalau aku akan pulang terlambat , sekitar tengah malam karena ada rapat mendadak persiapan kunjungan da’wah ke beberapa daerah pekan depan, jadi dengan berat hati aku hanya bisa titip maaf buat si sulung_Yudhist, karena aku sudah janji akan pulang tepat waktu agar kami bisa mendiskusikan tentang pemilihan sekolah pasca SLTP_nya. Sedang pada Satrio,putra keduaku aku minta maaf tidak sempat mampir ke toko buku dan membelikannya sebuah buku bagus yang sudah kujanjikan pada kutu buku sholeh kesayanganku itu. Aku juga minta maaf pada si kembar, Dyan & Dyana karena tidak bisa menemaninya berlatih renang. Itu berarti, tidak ada renang sore ini karena Yanti sama sekali tidak bisa renang maka tidak mungkin mengajari putri kembar kami berenang, lagi pula kandungannya sekarang sudah memasuki bulan ketujuh, perutnya sudah mulai menyulitkan untuk diajak berlincah-lincah ria seperti biasanya.
“ Akh Hary, kalau boleh ane tahu, siapa yang lebih dulu mengajukan ide poligami antara antum dan Ukhti Sari …? “, tanyaku pada Hary. Hary menyungging senyum mendengar pertanyaanku…
“ Ane dong… tapi Alhamdulillah, Allah mudahkan hati Sari… cukup dua hari waktu yang ane butuhkan untuk memahamkan Sari tentang betapa mulianya mengangkat derajat seorang janda beranak lima seperti Ummu Raihan “, papar Hary .
“ Antum nggak mau nanya reaksi istri ane …? “, pancing Johan
“ Kalau boleh tahu…? “, sambutku antusias.
“ Hya, Maya memang keras… sejak rahimnya diangkat selepas kelahiran anak pertama kami dia menjadi sangat sensitif…”, sejenak Johan menunduk lalu manarik nafas panjang dan melepaskannya perlahan…
“ Benar-banar hampir saja gagal… Maya sendiri sempat berfikiran akan meminta cerai… ane betul-betul pusing kala itu…”, Johan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan melepas pandangan menerawang kelangit-langit ruangan.
“ Syukurnya, Allah mudahkan hati Maya untuk mendengar dan menerima nasihat yang disampaikan oleh Mbak Safitri … ane betul-betul terbantu kala itu…dan sampai sekarang antum lihat sendiri, dia dan Ukhti Rika sangat akur sekalipun beda usia mereka terbilang cukup jauh, malah ane yang sering dibuat jealous dengan keakraban mereka…” bibir lelaki itu mengukir senyuman… dia bahagia.
Sesaat aku turut tersenyum haru mendengar cerita kedua sohibku. Fahmi datang mendekat dan duduk bersama kami, dia sudah sedari tadi ikut mendengarkan pembicaraan kami dari balik meja sambil merapikan berkas-berkas lembaga.
“ Well, sekarang giliranku bercerita…”, mulainya tanpa diminta. Aku mengangguk, begitu pula Hary dan Johan, bahkan Bagus pun telah turut bergabung bersama kami yang sedang duduk melingkari meja bundar yang dipenuhi aneka macam berkas.
“ Awalnya aku tak sanggup menyampaikan berita yang kudapat dari Ustadz Rahmat tentang ta’limat menikahi Ukhti Sofia, seorang akhwat yang kalian tahu ditinggal mundur calonnya dua hari sebelum hari akad nikahnya…. Akhirnya, aku minta Ust. Rahmat menyampaikan tentang hal ini pada Istrinya agar menolongku untuk membahasakan berita ini dengan sebaik-baik cara ke telinga Nadya…” , Fahmi berhenti sejenak,…
“…Nadya sangat luar biasa, Ustz. Juwita hanya bercerita tentang beberapa kisah poligami yang dialami para ikhwah dan dia langsung mengerti… lalu terurailah kisah yang dialami Ukhti Sofia dan niat menikahkan wanita itu denganku…”, kembali Fahmi terdiam sejenak…
“ …Mertuaku, Ibu dan Ayah Nadya tidak bisa begitu saja menerima hal tersebut… aku sempat disidang oleh keluarga besarnya… keempat pamannya hadir dalam persidangan itu, begitu pula dengan kakak-kakaknya… aku sudah memasrahkan semua pada Allah… dan Nadya adalah satu-satunya orang yang membela dan selalu meneguhkanku untuk bersabar dan bertahan menghadapi tekanan ini…”, mata lelaki gagah itu berkaca…
“ Dia sungguh luar biasa, karena melihat ketegarannyalah seluruh keluarga besarnya akhirnya merelakan keputusanku untuk mengambil madu untuk putri dan adik mereka… Nadya, istriku yang sangat kucinta…”, dan air mata itu kini telah menitik basahi pipinya…
“ Jika Fahmi harus berhadapan dengan keluarga besar istrinya, maka yang harus kuhadapi adalah putra-putriku sendiri…”, giliran Bagus angkat bicara…
“ Farhan dan Fauzan adalah yang paling keras menolak rencana itu… mereka bahkan sempat dua hari kabur dari rumah karena kecewa dengan keputusanku… Fatya juga tampak sangat kesal, namun dia lebih memilih untuk mengurung diri di kamar selama berhari-hari sejak aku mengabarkan tentang rencana itu… Fifi, mogok bicara, dia menolak aku mengantarnya ke sekolah…tak ketinggalan si kecil Fanny yang belum mengerti apa-apa, terlihat ikut murung melihat tingkah kakak-kakaknya dan kebekuan antara kami…”, Bagus mengarahkan tatapan lurus ke meja…
“ Ane bingung… sangat kebingungan kala itu… bahkan sebelum mengetahui siapa yang akan ane nikahi, Dik Ika sempat pula salah paham… tapi syukurlah setelah mengetahui bahwa yang akan ane nikahi adalah Ummu Hanif, janda yang hidup sebatang kara sejak ditinggal wafat Abu Hanif,suaminya dan Hanif,anak semata wayangnya, hati Dik Ika terketuk dan balik menyemangati aku untuk segera menikahi wanita yang sangat dihormatinya itu…, dia bahkan turut membantuku memberikan pemahaman kepada anak-anak kami… “, Bagus mengangkat tatapannya dari meja dan kini menatap kami satu-persatu…
“ Alhamdulillah, anak-anak kini sangat senang dengan kehadiran Ukhti Sarah di tengah-tengah kami… bahkan Fifi dan Fanny sangat manja padanya… tak jarang ane juga melihat Farhan dan Fauzan melibatkan wanita itu dalam diskusi-diskusinya…”.
“ Nah sekarang, tunggu apa lagi, Yo… Istrimu sudah siap, secara dzahir pun kau tampaknya sudah siap… hya, tapi kalau masalah hati, kaulah yang lebih tahu… “, Bagus menepuk pundakku. Aku menarik nafas panjang…. Ntah berarti apa helaan nafas panjang itu… aku pun tak tahu…
*
“ Ayah…!!! ”, sambut si kembar Dyan dan Dyana seraya menghambur ke pelukanku.
“ Ayah, kapan kita latihan renang lagi… Mas Yudhist dan Mas Rio juga nggak ada yang punya waktu buat ngajari kami berenang… “, sungut Dyan, buah hatiku yang lahir tujuh menit lebih dulu dari saudari kembarnya,Dyana.
“ He eh, Nih Yah… kita jadi nggak ada kemajuan sama sekali minggu ini… “, giliran Dyana angkat bicara. Aku mencium keduanya hangat...
“ Sayang, maafkan Ayah… kalian lihat sendirikan betapa penuhnya jadwal Ayah dalam sepekan terakhir ini…gimana kalo kita atur jadwal baru lagi aja untuk pekan depan ? ”, tawarku yang disambut antusias mereka.
“ Dyan, Dyana… Ayah pasti capek, biarin Ayah istirahat dulu gih… ntar sore ,ba’da Ashar baru kita sambung lagi ngobrolnya yah…”, Yanti datang menghampiri kami. Dia menurunkan satu persatu putri kami yang bergelayut manja di pundakku. Setelah keduanya menghilang dari balik pintu, sesaat kami saling bertatapan… hingga akhirnya wajah teduh itu tertunduk menyembunyikan semburat merah di pipinya.
“…Ayah makan siang dimana…?, mengapa tidak ada menghubungi Bunda sejak malam tadi, Bunda coba hubungi tapi nggak masuk-masuk…”, tanyanya dengan ekspresi yang begitu aku hafal…
“ Ayah belum makan siang Bunda, yuk temani Ayah makan dulu…nanti Ayah jelaskan…”, wajah teduh itu mengangguk setuju dan kamipun beriringan menuju ruang makan.
*
Yanti berulang kali menarik nafasnya dengan kentara, tampak sekali ia gelisah dan ingin menyampaikan sesuatu…Aku bisa merasakan mata teduh itu tengah menatap tajam ke arahku…Baiklah, sudah cukup tegangnya…
“ Ada apa Sayang, ada yang mau dibicarakan…? “, tanyaku. Dia mengangguk cepat…
“ …tentang anak-anak…? “, kejarku lagi. Segera ia menggeleng…
“ Ayah, Bunda sudah berencana akan sesegera mungkin menyusun jadual ta’aruf Ayah dan Ukhti Qoni Sudiro, jika Ayah setuju dengan rencana pernikahan ini… dan Bunda janji akan turut membantu Ayah mensosialisasikan hal ini dengan anak-anak agar mereka mengerti…”, dengan tenang Yanti mengutarakan isi hatinya kepadaku…
“…Qoni…maksud Bunda .R.R. Qonita Indrayuni Sudiro…? “ , tanyaku hampir tak percaya… dan sosok Iffana Dyantika Hayyanti yang tengah berada di sampingku membalas keterkejutanku itu dengan anggukan lembutnya yang anggun… Demi Allah, makhluk apa sebetulnya wanita di sisiku ini… jelas bukan manusia biasa… bukan wanita biasa…
Sekelebat bayangan 20 tahun lalu kembali melintas di benakku… aku bahkan belum tarbiyah saat itu… gelora rasa dan kecamuk jiwa muda yang meraja kala masa itu telah menyuburkan benih-benih yang bersemi di antara hatiku dan Qoni . Tanpa mampu kulerai, kisah itu terserak kembali hari ini…
“…Bunda… “, takjub kutatap sosok dihadapanku…
“ Dua tahun setelah bercerai dengan Deny Prawira, suaminya … Ukhti Qoni pun perlahan hijrah dan mulai aktif mengikuti kegiatan majelis taklim dan sejenisnya di kota tempat tinggalnya yang baru … Ayah ingat, Bunda pernah minta izin mengisi seminar dan serangkaian kegiatan muslimah di luar kota beberapa bulan lalu…? Nah, di sanalah Bunda bertemu Ukhti Qoni Sudiro, ternyata dia adalah salah seorang panitia pelaksana kegiatan yang mengundang Bunda. Kami saling berkenalan dan segera akrab, terlebih karena memang dia yang diamanahi mengawal Bunda selama rangkaian kegiatan berlangsung. “, Sesaat istriku menarik nafas, tangannya menyentuh tanganku dan menggenggamnya…
“ …kami berbicara banyak… Bunda sungguh betul-betul tidak menyangka Allah akan mempertemukan kami dengan cara seperti ini. Selama ini Bunda hanya mengenali wajah cantiknya melalui koleksi foto zaman kuliah ayah, atau mendengar ceritanya dari teman-teman kuliah ayah yang bersilaturahim ke rumah kita. Bunda tidak pernah mengenalnya secara langsung. Bunda hanya tahu kalau Qoni Sudiro adalah mantan kekasih Ayah yang sekaligus merupakan sosok wanita idaman Ayah… secara fisik, memang kami sangat bertolak belakang, Qoni mungil dan ramping, bahkan terkesan ringkih sedang Bunda tinggi, gede dan tampak sangat sejahtera he he he… tapi entah mengapa hati Bunda mengatakan bahwa secara bathiniah, kami sama-sama wanita yang merindukan dan membutuhkan laki-laki seperti Ayah untuk menentramkan hati kami. Dia kini hidup seorang diri setelah gagal memperjuangkan hak pengasuhan putra-putrinya di pengadilan tahun lalu… Bunda menangkap kesan rapuh dalam setiap tutur katanya, tapi siapa yang tidak akan kecewa dan bersedih ketika harus terpisah dari buah hati. Qoni memiliki seorang putra seusia Yudhist dan putri yang setahun lebih muda dari usia Satrio. Dia membutuhkan seseorang untuk berbagi, tapi Bunda yakin dia tidak akan keberatan jika ternyata ada dua orang sekaligus yang siap berbagi dengannya. Well, setidaknya sekelumit cerita tadi merupakan salah satu alasan diantara begitu banyak alasan mulia untuk meminta Ayah mengambil dia sebagai istri kedua Ayah…”. Dia mengakhiri kisahnya dengan sebaris senyum. Lama kami saling menatap, hingga dia mendahuluiku untuk menunduk lalu menyandarkan kepalanya dibahuku…
“ …Gimana Yah…? “, bisiknya…
“ Yanti… sungguh tak pernah terlintas di kepalaku tentang seorang Qoni sejak aku memutuskan untuk memilihmu sebagai bidadari yang akan menemaniku berjuang menuju syurga_Nya lima belas tahun lalu…tidak, bahkan sampai dengan detik ini masih kamu Yan, satu-satunya wanita yang ada di hatiku…Qoni hanyalah bagian dari masa lalu yang menjadi tahapan sejarah penempaan diri hingga kita jadi seperti diri kita yang sekarang ini … “
“ Tyo Sayang…bukankah tempaan itu tak pernah usai hingga akhir hayat kelak… bahkan di detik ini… bukankah ini bagian dari seni Allah dalam menempa hamba-hamba_Nya yang Ia cintai…? , Tyo Sayang… aku begitu bahagia bisa bersuamikan lelaki sepertimu…lelaki yang selalu mengingatkan aku akan kebesaran Allah… lelaki yang mengingatkanku ‘tuk tak lupa bersyukur…tak berhenti bersabar…namun ada begitu banyak wanita-wanita yang berselimutkan dingin di luar sana kala aku hangat di dekatmu…wanita-wanita yang terluka sayapnya dan menanti uluran tangan lelaki sejati yang mencintai dan menerima mereka karena Allah… walau tak pula kupungkiri ada demikian banyak wanita perkasa yang memilih untuk menikmati duri yang mencakar tubuhnya dalam perjuangan suci seorang diri…Tyo, salahkah…??? “ , tanyanya dengan suara bergetar…kupeluk ia perlahan untuk menentramkan hatinya… Yanti…wanitaku….
“ Airlangga Eka Prasetyo … dia menyebut namamu saat menceritakan kisahnya padaku… Tyo, dia begitu ingin bertemu denganmu… dia tahu siapa aku dan aku merasakan tatapan cemburunya padaku… Tyo, dia masih begitu mencintaimu… Tyo…aku tak pernah berhenti memikirkannya… Tyo, bagaimanapun juga dia saudari kita… dia pun layak memilikimu…”, air mata itu terus mengalir, diringi isakan yang tertahan … Yanti…begitukah yang kau rasakan… begitukah hati perempuan…
Lama kami saling diam, hingga akhirnya aku mengiyakan permintaannya…
“…Baiklah Khadijahku Sayang…aku akan menerimanya… namun bagaimana dengan anak-anak kita…? juga dengan keluarga besarmu…?, tentu butuh waktu untuk meyakinkan mereka…”. Tiba-tiba wanita itu telah menghadiahiku sebuah kecupan hangat…
“ …jangan khawatir Sayang, kita akan hadapi bersama…”, janjinya….

(Eka D.Rifai,Pontianak, 14 Desember 2004 / dua hari sebelum miladku_setahun sudah berlalu cita-citaku…, 00:35 dini hari…)

0 komentar:

Design by Blogger Templates