Kupu – Kupu Terbang


Kupu – Kupu Terbang
By. Afra Z. Rifa’i

Selembar undangan berwarna biru pucat…
Sepasang kupu – kupu berwarna lembut menghiasi sampulnya…

Hany Sekarini,S.Ked., nama itu tertera di dalamnya… bersanding dengan sebuah nama asing yang… entahlah, kukira bukan urusanku lagi untuk tahu dan peduli…
Kuletakkan kembali undangan itu di atas meja kerjaku, tepatnya di tumpukan paling bawah pada berkas – berkas yang rencananya akan kusingkirkan sebelum aku meninggalkan kantor petang nanti…

“ …Ga, kamu ditunggu tim di bawah… buruan deh, mereka udah siap meluncur buat liputan siaran langsung sore nanti…”, tegur Maya membuyarkan sepasukan lebah yang sedari tadi berdengung - dengung di dalam kepalaku…lebah – lebah madu yang sukses mengacaukan konsentrasi persiapan reportaseku sore ini…hya, Hany selalu menyebut kemelut itu lebah madu…entah apa maksudnya, tapi manakala kudengar live dengungannya, sepertinya memang serupa dengan apa yang aku rasakan barusan…
“ Hurry up man, waktu kita tinggal empat puluh lima menit…!!! “, seru Rio, produserku yang sudah duduk manis di samping Pak Budi, driver tim liputan kami.
“ What’s Up man… ??? “, tanya bos sekaligus sohibku yang baru saja menghelat pernikahannya bulan lalu. “ Nothing…”, jawabku singkat seraya mengalihkan pandangan menyisiri pepohonan dari balik kaca mobil yang senantiasa cling oleh dedikasi Pak Budi yang menikmati profesinya bersama kami. Sorry friend, aku lagi enggan bicara… not to you, not to anybody… Rio mengangkat bahunya dan pilih mendiamkan aku selama di perjalanan.

Aku masih membisu, terkecuali saat shooting liputan sore tadi…selebihnya aku lebih banyak menyendiri… aku benar – benar kehilangan selera untuk bicara, jangankan pada Rio, pada Bunda pun rasanya tidak…

Wanita itu begitu menyayangi Hany, aku tak sanggup jika harus menyampaikan berita ini pada dia yang sejak tadi pagi begitu bahagia mengisi hari – harinya bersama dendro dan phalaeonopsis.
“ Airlangga, duduk sebentar sayang…”, Bunda memintaku untuk tidak meninggalkannya buru – buru selepas makan malam. Sejak Cahaya hijrah mengikuti kepindahan suaminya yang dimutasi tahun lalu dan Ayah masih berada di luar kota mengurusi persiapan pernikahan adikku dari Mama Ana, ibu tiriku yang juga teman baik Bunda semasa kuliah, rumah ini serta merta menjadi semakin sunyi oleh kesibukanku di redaksi sebuah stasiun televisi lokal tempatku berkarir.
“ Lama ya, kita tidak membicarakan tentang kapan pangeran Bunda akan membawa seorang putri mencerahkan istana kecil kita…”, sapanya membuka pembicaraan yang sudah kuhafal betul kemana arah muaranya.
“ Jangan katakan kamu masih menunggu calon doktermu mengambil spesialisnya… terlalu lama… masih kuliah pun tak mengapa… Bunda akan menemaninya menyelesaikan skripsi… “, tawar Bunda penuh semangat yang semakin membuat kecut hatiku.
“ Bunda, Hany akan menikah sabtu ini…” , kalimat itu meluncur begitu saja tanpa sanggup aku tarik kembali…
“ …Oh…”, hanya itu yang kemudian terdengar dari lisannya yang lembut menggetarkan hati…seperti aku yang gagal menahan ucapanku, Bunda pun gagal menyembunyikan keterkejutannya…
“ You’re Ok, Honey…? “, tanyanya hati – hati… aku mengangguk dan akhirnya memilih duduk di sisinya… memeluk wanita terkasihku yang begitu dalam samudera cinta di hatinya…
“ I’m so sorry…”, itu kalimat berikut yang sanggup ia katakan selepas meyakinkan bahwa aku baik – baik saja…
“ But how…? “, tanyanya perlahan…
“ It’s all my fault…I let her go, Mom… Angga yang lepas dia karena Angga memang ga pernah kasi kepastian apa – apa… Angga yang pengecut Bunda…”, aku menyandarkan kepalaku di bahunya… pengecut, semoga pilihan kata itu tidak berlebihan untukku…
“ maksud kamu, kamu tidak menginginkan dia menjadi istrimu…? “, Tanya Bunda lagi..
“ satu – satunya wanita yang pernah Angga ceritakan ke Bunda memang hanya Hany… namun Angga ga pernah yakin, apa Angga cukup baik untuknya… dia ga pernah benar – benar tahu perasaan ini Bunda… kami ga pernah punya hubungan istimewa, selain sebagai seorang sahabat yang saling menjaga silaturahim sejak masih duduk di bangku sekolah… “, sesaat kutarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan keras… mataku menerawang, mengingat saat – saat indah yang tak kan tergantikan…
“ Kami saling menjaga Bunda… agar hati ini tidak ternodai, agar persaudaraan ini indah seindah warna aslinya… jadi bukan salah Hany jika ia memutuskan untuk menikah dengan lelaki lain… lelaki yang lebih dulu datang secara resmi menjemput bening hatinya… lelaki yang dengan mantap menunjukkan kesungguhannya untuk menjadi tambatan hati seorang Hany…dia yang lebih… yang lebih siap dan lebih baik untuk Hany… “, selesai mengungkapkan itu semua aku segera mohon diri kembali ke kamar… ada perasaan lega, meski tak dapat kupungkiri ada segores luka di sana… luka karena aku tak cukup punya waktu untuk datang menunjukkan kesungguhanku pada Hany…luka karena aku tak cukup punya keberanian untuk memintanya menemaniku meniti cahaya…
Tapi, mungkin inilah yang dinamakan bukan jodoh… aku harus ikhlas, meski sudah kusiapkan segalanya bulan depan mendatangi kedua orang tuanya untuk sudi menerimaku sebagai menantunya…. Meski ternyata aku terlambat…
***
Sejuk air wudhu yang membasahi terasa merasuk ke jiwaku… perlahan rasa sakit itu mulai berangkat pergi beserta sebuah nama yang pernah mengisi sudut hati … Kusadari masih banyak yang harus aku benahi, namun tekadku telah bulat… aku yakin telah siap, pernikahan Hany membuka fikiranku, betapa akupun hendaknya menyegerakan diri untuk menggenapkan setengah dienku dalam rangka mengikuti sunah Rasulullah yang mulia… Entah bidadari mana yang akan Allah pilihkan buatku… aku telah menyerahkan segala urusanku padaNya… (Dedicated to my belove friends…Wahai Umat Nabi Muhammad…, ente tunggu apa lagi…???)

0 komentar:

Design by Blogger Templates