Embun Di Kelopak Matahari


EMBUN DI KELOPAK MATAHARI
By. Eka D. Rifai

“…Kak kenapa sih uring-uringan gitu…? “, tanyaku penasaran pada Kak Dyan yang kentara terlihat gelisah sejak tadi siang.
“…Mas Adya, Ne… kok belum pulang-pulang juga sih…padahal tadi malam bilangnya bakal jemput Kakak di rumah Bunda siang ini, tapi sampai menjelang sore begini ga ada sama sekali menghubungi… Kakak kan jadi khawatir, Ne…”, Kak Dyan masih aja gelisah, malah sekarang pake meremas-remas sapu tangan segala…alhasil benda tak berdaya itu semakin kucel bin buluk dalam genggamannya… nah lho, pake srat srot srat srot lagi…one… two… three… : mewek daaah… Mas Adya juga sih… pake janji-janji jemput Kak Dyan segala…suruh pulang sendiri naik angkot, napa…!?!?
Kak Dyan kembali mencoba menghubungi suami semata wayangnya sembari memencet-mencet tombol HP… Hhh, lagi-lagi nihil… Mas Adya bak hilang di telan bumi…dan kekhawatiran Kak Dyan pun semakin menjadi-jadi…
Well, selama 19 tahun berpredikat sebagai adik Mas Adyaku yang smart en energik , aku sebetulnya ga heran-heran amat mendapati jagoan keluargaku tersebut menghilang trus nongol lagi semau hatinya seperti hari ini… wong dari bujangannya udah kaya’ githu kok, dari masih tinggal di Surabaya dulu sampe hijrah ke Pontianak tujuh tahun lalu kebiasaan buruk itu masih aja dipelihara… jadi ya ga kaget mendapati dia yang belum bisa sepenuhnya berubah kendati telah memperistri Siti Nurfika Rachmadyanti yang dari sononya emang punya hobi cemas en khawatiran kelas berat…
“ Assalamu’alaikum… “, terdengar warna suara ceria yang khas milik seseorang… Mas Adya dengan kaca mata minus tiganya muncul seraya memamerkan senyum lebarnya yang selalu ampuh menaklukan kekesalan hati siapa saja di rumah ini…
Kak Dyan yang sedari tadi gelisah minta ampun hanya tertegun sesaat seraya membalas senyuman sang suami dengan merah pipinya yang mengisyaratkan malu-malu, padahal aku sudah menduga kalau dia akan menghambur ke pelukan mas ku sambil meraung-raung dengan manjanya, tapi kenyataannya dia malah bersikap lebih tenang dan merasa cukup hanya dengan memandang sebentuk wajah sang kekasih untuk melunasi kerinduannya … pasangan yang aneh …berikutnya gampang ditebak, keduanya akan duduk di teras belakang seraya menatap langit biru yang dihiasi puluhan layang-layang anak komplek sebelah sambil berpegangan tangan, maklum aja daah…fase pacaran baru saja dimulai…
***
Bruuk, ransel cukup gede yang biasa dipakai Mas Adya hiking baru saja dieksekusi di lantai kamar atas. What’s going on…? Tumben-tumbenan Mas ku itu pulang ke rumah lengkap dengan ransel penuh dengan pakaian-pakaian kotor seabreg-abreg githu…emangnya minggat…? Ups, minggat…?!?! Yang benar aja… jangan-jangan lagi berantem ma Kak Dyan… waduh, berabe nee…
Dug…dug…dug, aku berlari melewati tangga kayu menuju kamar Masku zaman bujangan dulu…pintu kamar itu dibiarkan terbuka begitu saja, hya…Mas Adya emang jarang nutup pintu, baru belakangan setelah menikah dia nyempat-nyempatin nutup pintu plus ga lupa kadang pake dikunci segala…
“ Ada apa sih, Mas… kok bete begitu…!!! “, tanyaku to the point…
“…bilangin Bunda, Mas nginap di sini dua hari, Mbak mu ada rihlah dengan teman-teman pengajiannya akhir pekan ini...! “, aku mangut-mangut, Kak Dyan yang kelahiran Pontianak asli itu emang hobi traveling kelas berat, pasti dia baru saja berhasil merayu Masku agar diizinkan berangkat rihlah ma temen-temennya…canggiih juga jurusnya, he he he…
“…eh, Ne…tunggu dulu…bantuin Mas nyuci dong…Mbakmu perginya buru-buru jadi ga sempat nyuciin baju-bajunya dan baju Mas…”, Mas Adya menghela nafasnya perlahan…
“… aku hidupin mesin cucinya, aku ajari sebentar…trus Mas yang nunggui sampe selesai ya… aku ada tasqif sore ini…”, tawarku… Mas Adya mengangguk setuju…
Terkantuk-kantuk Mas Adya duduk di dekat mesin cuci tua yang sedang beraksi, sesekali dibolak-baliknya tafsir Ibnu Katsir Juz 27 yang tengah serius ditekuninya sembari menunggu cucian dibilas bersih …salut juga melihat ketawadhuan Mas ku sekarang ini…rasa-rasanya dulu paling ogah maen-maen ke wilayah domestik, gaulnya ga jauh-jauh dari buku-buku tebal berbahasa inggris atau berjam-jam menatap mesra layar monitor seraya menuangkan ide-ide briliannya yang ga pernah abis-abis, maklum wartawan muda berbakat…but look at him now…!!! Ga cuma nyuci seperti saat ini, belakangan juga terindikasi mahir memasak aneka sup dan tumis-tumisan, informasi terakhir mengatakan kalau di setiap hari Kak Dyan mengisi pengajian selalu Mas Adya yang bersih-bersih rumah en pekarangan, menyirami berbagai macam tanaman yang ditata apik oleh kakak iparku yang cum laude sarjana pertanian, dashyat…padahal dulunya, disuruh nebas rumput di kebun belakang aja susahnya minta ampun…!!! Secanggih itukah lembaga pernikahan…sanggup melahirkan manusia menjadi makhluk baru yang mengejutkan…
“ …pulang tasqif jam berapa,Ne…? biar Mas jemput sekalian minta ditemani nyariin kado buat Mbakmu…pekan depan dia milad, Mas pengen kamu bantu memilihkan, kamu tahu sendiri kan selera Mas jelek banget kalo udah berkenaan dengan kado-kadoan…tau Mas ya cuma buku…tapi rencana Mas sih ingin yang lebih romantis gitu…” Eits, Mas ku ngomong romantis…hya, Mas Adya emang bukan tipe dingin or jutek…melainkan cenderung kocak en heboh…jadi sama aja ga romantis…nah sekarang mulai pengen romantis-romantisan…?, tak diragukan lagi ini pasti hasil kontaminasi Kak Dyan yang emang terkenal dengan julukan ‘akhowat bunga-bunga’ di komunitasnya… aku menyungging senyum penuh arti yang dibalas dengan senyum yang tak kalah penuh artinya oleh Mas Adya .
Aku ingat saat pertama kali Mas Adya menyadari bahwa gadis yang harus dikhitbahnya itu adalah kakak tingkatnya sendiri yang pernah satu departemen dengannya di BEM Universitas. It’s happened too fast memang…coz keduanya memang sudah saling mengenal dan telah berulang kali menjadi tim yang tangguh sebelumnya. Kenapa bukan Kak Elisa atau Kak Vita yang sebaya dengannya…? Atau Kak Santi teman sefakultasnya…? Mengapa Kak Dyan…? Apa karena dia putri sulung seorang janda yang kini memasuki usia senja…? Yah… ga ngerti juga… walau mereka terbilang dekat, aku yakin 100 % ga pernah ada prolog sebelumnya… meski aku juga ga heran kalo banyak gadis yang merasa nyaman bekerja sama dengan Mas Adya coz do’I emang hampir selalu bisa diandalkan dalam berbagai situasi…Mas Adya pun asyik-asyik aja dijodohin ma Kak Dyan…walau Kak Dyan lebih berat 5 kilo sekaligus lebih tinggi 5 cm darinya, dia memang tipe lelaki yang ga pernah bosan bersyukur, aku belajar banyak soal yang satu ini darinya…
“ …Mas yakin Kak Dyan suka dibelikan buku resep ini…gimana kalo nanti Kak Dyan tersinggung ngirain Mas nuduh dia ga pandai masak…! “, komentarku melihat kekhusyukan Mas Adya mengamati beberapa buku resep lux yang ada di tangannya.
“ Kamu benar, Ne…ini dia untungnya bawa kamu…!!! “, Mas Adya segera meletakkan buku-buku tadi ke tempatnya. Kami lalu beranjak meninggalkan deretan rak buku khusus wanita.
“ …kenapa harus buku sih Mas…!?!? “, protesku…
“ … Berlianne Utami Nugraheni, adikku sayang…buku sangat berarti bagi kehidupan kami… sulit rasanya sehari hidup tanpa membaca buku setelah tilawah… dengan membaca kita meningkatkan kualitas usia…memperkaya cakrawala berfikir dan…”
“ …stop…stop…stop…kok aku jadi ditaujih sih Mas…!!! “, kembali aku protes… Mas Adya buru-buru merangkul pundakku…
“ …afwan…afwan…oke deh kita beli something…tapi buku juga, oke !?… satu buat Mas, satu buat Dyan en satunya lagi buat kamu…”, bujuknya… hm, oke juga tawarannya….yuhuuu, aku kan jadi bisa beli buku terbarunya Sofwan Al Banna Chairuzadd, penulis favoritku itu…he he he…good idea Mas…
Lama juga waktu yang kami habiskan di toko buku sebelum akhirnya Mas Adya mengajakku memasuki toko komputer.
“ …kalo flash disk gimana Ne…? “, Tanya Mas Adya yang tampak tertarik mengamati beberapa merk MP4 yang sudah mulai surut pasarannya belakangan ini…
“ Ha…Kak Dyan mau pake buat apa Mas…make komputer aja rada gatek…pake HP aja terpaksa karena Mas yang minta…kalo ginian mah lebih manfaat di Mas, or Mas mau beliin aku…?! “, godaku… Mas Adya manyun, tapi tak urung dia membenarkan pendapatku… dasar ga empati, ternyata penyakit lama belum sepenuhnya sembuh…
“…duh, susah banget ya… apa karena ini yang pertama…”, dahi Mas Adya berkerut-kerut, dalam hati aku tersenyum geli…baru kali ini melihat Mas Adyaku yang jenius jadi rada telmi bin lemot… he he he lagi…
“ …jangan putus asa gitu dong,Mas… gimana kalo kita pake pendekatan hobi Kak Dyan aja… setahu aku kan Kak Dyan hobinya buat kue tuh… kenapa kita ga beliin salah satu perabot dapur seperti mixer or blender, Kak Dyan belum punya kan…!? “, usulku… Mas Adya tercenung sesaat…
“ …Iya sih, kasihan juga kalo terus-terusan harus minjem ma Ibu kalo mau buat-buat kue, tapi…barang-barang itu kan relatif mahal, Ne…ada sih yang murahnya, tapi Mas ga tegalah kalo harus membelikan Dyan yang murahan en gampang rusak githu, walau yakin dia ga akan pernah protes…well, uang Mas nyaris habis lantaran belanja buku kita yang kebanyakan tadi…”, Mas Adya menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya perlahan… bingung… linglung… jadi kasihan…namun tiba-tiba matanya berbinar cemerlang…senyum lebar kembali muncul diikuti jentikan jari…yup, bola pijar di kepalanya telah menyala kembali…apa lagi nee…?
“ Kita ke tempat jualan bunga di pinggiran kota baru…”, ajaknya…bergegas aku mengikuti langkah lebarnya menyeberangi jalan menuju tempat yang ia maksud…
“ Mas mau beli bunga…? Apa ga kecepatan belanja bunganya sekarang…? ”, aku kembali protes…
‘…tebakan kamu hampir betul, tapi uang Mas emang udah ga cukup lagi untuk sekedar membeli seikat mawar or lily apalagi satu pot anggrek, lagi pula koleksi dendrobium kami di rumah sudah cukup banyak…tapi ada satu jenis bunga yang belakangan ini sering disebut-sebut oleh Dyan sebelum keberangkatannya beberapa hari lalu…”
“ Bunga apa Mas…? “, tanyaku penasaran…
“ Matahari…” jawabnya mantap, kali ini giliran dahiku yang berkerut…cari dimana bunga matahari…?
Yup, tepat seperti yang aku duga, benih bunga matahari emang terbilang langka untuk ukuran kotaku… namun Mas Adya ga sedikit pun menampakkan gejala putus asa. Keluar masuk toko dengan ceria dan penuh keyakinan pasti ada yang menjual benih itu…uih, aku capek nee…
“ …ayo,Ne…masih ada beberapa tempat lagi di dekat perpustakaan daerah…buruan yuk, ntar keburu magrib loh…”, Mas Adya begitu semangat keliling kota Pontianak demi mendapatkan benih-benih itu…
“ Mas hapal banget toko-toko pertanian dan tempat-tempat jualan bunga di daerah sini…? “, tanyaku penasaran…
“ …Wajib dong, Dyan kan sering minta diantar ke tempat-tempat itu…beli pupuk lah, cari-cari polybag lah, kadang juga sekedar melihat-lihat koleksi bunga terbaru yang lagi naik daun…or diskusi ma penjaga toko tentang berbagai jenis hama dan penyakit…yaa, Mas kudu nemani lah…khawatir dikira masih gadis en dijodohin ma anak pemilik toko… he he he…”, jawabnya riang…wajahnya sesaat bersemu merah…ih, lucu… rasa-rasanya waktu abg dulu Mas Adya ga segini-gininya deh… kalo ga salah waktu itu dia pernah naksir ma Damayanti teman sekelasku, gadis manis berambut panjang yang langganan juara kelas plus jago inggris githu… tapi paling cuma titip salam, trus kalo orangnya maen ke rumah, yang diomongin juga ga jauh-jauh seputar komputer aja . Wajahnya ga pernah jadi kaya’ kepiting rebus githu…paling-paling cengengesan kalo digodain…tak lama kemudian Mas Adya kuliah en hijrah dan ga pernah nanya-nanyain soal Damayanti lagi… sementara Damayanti sendiri lebih memilih kuliah di luar negeri …
“ …Mas aku capek…”, rengekku…
“…Iya Anne sayang, sabar ya…tinggal tiga tempat lagi… berdoalah salah satunya menjual benih bunga matahari yang kita cari…hya, kalo belinya ngajak Dyan sih dia pasti langsung tahu nuju toko yang mana… jadi ga perlu muter-muter gini…” rayu Masku…
“…Bapak datang di waktu yang tepat… benih Bunga Matahari ini baru datang dua hari yang lalu tapi sangat laku keras… ini dua bungkus terakhir…”, penjaga toko separuh baya itu menyodorkan dua bungkus benih bunga matahari dengan kemasan sederhana yang menarik…
“ Yup, saya ambil dua-duanya Pak…”, Mas Adya mengeluarkan selembaran uang dua puluh ribuan… wajahnya berseri-seri menatap bungkusan yang kini ada di tangannya…
“… yuk, segera kita cari kertas kadonya…ntar malam baru Mas tulisin taujihnya…”
“ …aku punya stok kertas kado kok Mas… Mas tinggal pilih aja sesuai warna favorit Kak Dyan ! “, tawarku…
“ …thanx God, good idea sis…kamu punya yang warnanya dominan ungu atau kuning…? “, hya, sudah kuduga dan aku pun mengangguk cepat seraya tersenyum membalas tatapan terima kasih darinya…kami pun berjalan pulang dengan gembira… mata Mas Adya menerawang menyapu langit…pipinya bersemu merah lagi… semerah mentari sore hari…tak urung akupun menyimpul senyum dan turut bahagia berjalan di sampingnya…kuraih tangannya menuju ke tempat parkir, ah senangnya ! mungkin ga’ ya suamiku nanti seoke dirinya…
Sesampainya di depan pagar rumah Ayah sudah terlihat ga sabaran menunggu kami…usai membalas salam kami Ayah langsung menarik tangan Mas Adya dan menatap penuh energi kemarahan padanya…
“ …HP mu kok pake ditinggal segala sih !? “, Tanya Ayah sebel…
“ …ketinggalan Yah…soalnya tadi nyaris terlambat jemput Anne di masjid…”, jawabnya tenang…Ayah terdiam sesaat…
“ Istrimu…! “, Deg, Ayah menggantung kalimatnya…
“ Ada apa dengan Dyan,Yah…”, Mas Adya gagal menyembunyikan kalut di hatinya…
“ …sekarang dia ditemani Bunda dan Bu Tati di UGD rumah sakit umum…baru saja sampai beberapa menit yang lalu dari luar kota…segeralah ke sana…”, bak angin Mas Adya melesat pergi dari hadapan kami…aku tertegun sesaat…
“ …kecelakaan apa Yah…? “, tanyaku pelan…
“ …jatuh dari bukit, menyelamatkan anak temannya yang tergelincir di lereng yang licin…” Ayah merangkulku masuk ke rumah…
“ Malam nanti kita jenguk ya,Yah…!!! “, ajakku…
“ Pasti ! “, jawabnya…
$$$
Kak Dyan masih belum sepenuhnya sadarkan diri di ruang ICU… jam bezuk telah lama berlalu dan Mas Adya hanya dapat menatap wajah kekasihnya di balik tirai yang tak menutup kaca dengan rapi oleh suster piket malam ini. Begitu ingin aku mendekatinya namun kekhusyukan itu mencegahku…perlahan cairan bening itu mengalir basahi pipinya…
“…besok Mbakmu akan dioperasi,Ne…ada cidera di rahimnya, jika tidak segera dijahit akan mengancam nyawa dan terpaksa diangkat…”, bisik Ayah, sementara Bunda masih menemani Bu Tati, Ibunya Kak Dyan yang juga nampak sangat terpukul dengan kejadian ini…
“…Dyanti itu emang bandel, susah dilarangnya… dari gadis hobinya ya yang aneh-aneh githu… ibu pikir setelah menikah bakal ndak lagi… ibu paham sih kegiatan itu memang ada baiknya juga, tapi cerobohnya itu yang ndak ilang-ilang…kalo sudah begini…? “, Bu Tati masih terlihat kesal pada apa yang menimpa putri sulungnya…kembali Bunda yang mencoba menenangkannya…
“…padahal bulan depan Pipin, adiknya akan menikah…kalo Kakaknya sakit kaya’ begini, bisa-bisa diundur lagi hajatannya…”, Bu Tati begitu ingin mengeluarkan segala kegelisahan hatinya…
“…belum lagi Anto, adik bungsunya yang akan sidang skripsi jumat depan …bisa-bisa kan jadi ga …!!! “…kalimat Bu Tati terhenti…tiba-tiba saja semua menjadi gelisah…tekanan darah dan jantung Kak Dyan kembali ga stabil…semua berada di titik kritis. Mas Adya memejamkan kedua matanya sesaat , lalu melangkah gontai menuju musholla…aku hanya bisa memeluk Ayah…begitu sulit untuk merangkai kata…semuanya terjadi dengan begitu cepat…hanya doa yang sanggup kumunajatkan dengan sangat lirih…aku bahkan tak sanggup menatap punggung Mas Adya yang bergerak menjauh…seolah tergambar utuh kelukaan di kalbu itu… bersabarlah, Mas…teman-teman Kak Dyan yang turut menunggu tak ada yang sanggup mengakhiri tilawahnya… rona kecemasan itu melukis takut…melukis harap…berpadu dengan senandung bacaan quran yang semakin terdengar bergetar…Robb, semua ada di tanganmu…Robb, betapa hanya Kau yang Maha Mengetahui Segalanya…yang terburuk dan terbaik… sungguh kami berserah diri pada_Mu…
Hanya berselang beberapa detik ketika seorang perawat muncul dari balik pintu meminta Mas Adya masuk menjumpai istrinya…hanya sebentar, ketika perawat itu kembali menemui kami dan mengabarkan Nyonya Dyanti Adyatama telah tiada…dia telah berpulang ke rahmatullah…
Mas Adya masih menggenggam jemari Kak Dyan ketika kami diizinkan masuk ke ruangan…dengan khidmat diciuminya punggung tangan itu penuh kasih… sangat tenang, bahkan tanpa air mata …
“ …Mas sendiri yang mengantarnya, Ne… dia sangat bahagia kembali menemui Robbnya…”, lirih Mas Adya mengatakannya kepadaku…
$$$
Gundukan tanah itu masih basah tertimpa hujan lebat malam tadi…di atasnya tumbuh menjulang beberapa tangkai tanaman bunga matahari…dua diantaranya telah berbunga…kelopaknya diselimuti embun pagi dan belum sepenuhnya mencair oleh fajar yang menghampiri…Tak jauh dari gundukan berbatu nisan tadi ada gundukan lain yang subur ditumbuhi rerumputan. Kukeluarkan sebungkus benih bunga matahari yang pernah aku dan Mas Adya beli bersama tahun lalu…
“ …Maaf, Mas…aku terlambat datang, kemarin sore baru tiba di rumah setelah menyelesaikan short courseku di Amsterdam…tapi aku ga lupa kok pada pesanmu…”, kucabuti rumput-rumput liar yang memenuhi permukaan makamnya. Perlahan namun pasti kuselipkan beberapa biji bunga matahari di sela-sela tanah yang mulai memadat jenuh karena air langit yang turun setiap hari…kubersihkan batu yang menancap di atasnya, pelan-pelan kubaca sederetan huruf yang terpahat di sana… Yudhistira Adyatama Nugroho, lahir 01 Juni 1979, Wafat 11 Januari 2006, Selamat jalan Mas…sampaikan salamku pada Kak Dyan ya…dan jangan lupa syafa’ti adikmu ini wahai mujahid…pesanku lirih seraya mendekap selembar surat kabar yang memberitakan kematian seorang jurnalis idealis yang jasadnya diketemukan mengapung di Sungai Kapuas. Tragedi na’as itu terjadi beberapa hari setelah Adya membantu polisi menyingkap kasus illegal logging dan penyelundupan besar-besaran berlatar balakang politik di perbatasan Pulau Kalimantan …
(Kota Kapuas, 14 Februari 2006)

0 komentar:

Design by Blogger Templates