Kupu - Kupu Hati


Kupu-Kupu Hati

“...Bian ga mau pergi ke alun-alun kalau Oyi ga boleh ikut kita...”, air mata gadis cilik itu deras mengalir basahi pipi putihnya yang serta merta memucat pasi.
“ ...iya ...iya Oyi boleh ikut , tapi Oyi harus minta izin dulu pada ibunya...”, bujuk sang ibu yang tak sanggup melihat putri semata wayangnya bersedih...
“ ...tapi Bian, Oyi ga bisa ikut... sebentar lagi Bunda Hanna datang menjemput dan Oyi harus ikut Bunda pulang ke rumah, lagipula malamnya Bunda janji akan membawa Oyi memeriksakan mata, sepertinya minus mata Oyi bertambah... “ , tolak anak lelaki berusia sembilan tahun yang hanya bisa menggenggam erat tangan sahabat kecilnya seraya lembut menghapus air mata yang mengalir itu dengan punggung tangannya .
“ kalau begitu Bian mau periksa mata juga, Bian mau pake kacamata seperti Oyi... “, pinta si gadis... ibunya tersenyum...
“ ..tapi mata Bian kan masih bagus dan sayang dong mata bagus begitu ditutupi kacamata “, komentar ibu... Shalih, nama lengkap bocah itu mengangguk tanda setuju, dengan wajah ditekuk Bianca menyerah...
“ ...tapi Oyi jangan kemana-mana ya, tetap temani Bian sampe Bunda Hanna menjemput...”, pinta Bianca, Shalih mengangguk mantap menjawab permintaan gadis kecil yang memeluk lengannya dengan erat... sore sepulang bekerja di rumah sakit swasta terkemuka, sang Bunda_dr. Hanna menjemput anak asuhnya di rumah salah seorang teman putra angkatnya. Rumah bercat putih tempat si cantik Bianca kecil tinggal bersama kedua orang tuanya. Dr. Hanna membawa serta seorang anak perempuan sebaya Bianca di mobilnya. Seorang gadis kecil yang kemudian mereka panggil Shela. Tak ada yang mengira sebelumnya, kehadiran gadis baru itu kemudian mengubah kehidupan Bianca untuk selama-lamanya.
***
Peristiwa lima belas tahun yang lalu itu tiba-tiba begitu saja memenuhi memori Bianca kala sebuah foto zaman kanak-kanaknya dulu terjatuh dari dalam sebuah buku tua milik sang ibu. Shalih, dimana kamu sekarang...?, bisik hatinya menahan nyeri kerinduan.
Perpisahan yang menyakitkan itu sebetulnya tak perlu terjadi, jika Bianca mau sedikit bersabar dan menjaga perasaannya yang terlanjur kalut kala itu.
Kehadiran Shela memang berpengaruh signifikan dalam kehidupan Shalih dan dr.Hanna. Gadis yang memang sangat lucu dan manis itu serta merta menjadikan rumah yang sebelumnya sendu perlahan-lahan diwarnai keceriaan. Keduanya sangat menyayangi Shela. Hya, gadis itu memang layak disayangi dan dimanjakan... dia begitu istimewa.
***
“ Bian, ini adikku Ayla...dia akan ikut menunggu jemputan Bunda setiap hari di rumahmu bersamaku jika kamu tidak keberatan...”, pinta anak lelaki yang tinggi badannya melebihi teman-teman sebayanya yang lain di sekolah. Bianca diam... matanya tak tersenyum seperti biasa, Shela yang punya panggilan kesayangan Ayla dari kakak barunya segera menghadiahi teman barunya tersebut sebuah senyuman persahabatan. Namun Bianca tetap tak bergeming , diam seribu bahasa...
“ Bianca, kamu sakit...? “, tanya Shalih seraya menatap lurus ke manik bola mata gadis di hadapannya. Bianca menggeleng lemah dan membuang tatapannya ke arah semak heliconia... Shalih menggandeng Bianca dengan tangan kirinya sementara Shela tak sekejap pun melepaskan tangan kanan Shalih sejak keluar kelas di akhir pelajaran. Ketiganya melangkah perlahan menuju rumah putih yang tak jauh dari gedung sekolah yang di kelilingi taman yang teduh.
“ Kita tidak bisa main berdua lagi...”, gerutu Bianca, kala Ayla diantar ibunya ke toilet.
“ ...tapi Ayla adikku...kita bisa bermain dan belajar bersama... kan lebih menyenangkan...lebih ramai... “, balas Shalih yang masih tekun dengan buku yang sedang dibacanya di perpustakaan mini pada sudut kamar Bianca. Gadis kecil itu terdiam... dia menjadi sangat pendiam sejak Shela hadir di tengah-tengah mereka. Shalih menyadari hal itu, namun Shalih yang telah terbiasa memendam rasa tak begitu paham apa yang harus dia lakukan... walau dia juga tak ingin kehilangan keriangan dan kegembiraan sahabat kecilnya seperti sekarang... Shalih hanyalah anak kecil biasa... dia hanya memilih diam karena memang begitulah sifat aslinya... sibuk dengan buku-buku bacaan seperti sebelum-sebelumnya... tanpa disadarinya Bianca tak pernah kembali seperti semula...
Hari-hari panjang membentang di hadapan mereka. Shela yang manis tak pernah lelah membagi senyum pada siapa saja, menawarkan persahabatan yang tulus termasuk pada Bianca, sahabat saudaranya...
“ ...aku mengenalmu sejak kelas dua, sekarang kita sudah di kelas sepuluh dan aku masih belum bisa masuk ke hati kamu... kenapa sih Bi, kamu ga suka kehadiranku...? “, tanya Shela suatu hari di sela-sela kesibukan mereka mengerjakan tugas sekolah dan aneka les privat. Bianca menatap gadis itu tajam... matanya bicara namun tak sepatah katapun yang mampu dia ucapkan...
“ ...Bi, kamu suka kakakku...? ”, tanyanya hati-hati...
“...tau apa kamu tentang aku dan Oyi...? “, balasnya ketus.
“...Kak Oyi sering cerita tentang kamu... setiap hari selalu nama kamu yang paling sering disebutnya...aku iri, aku juga ingin jadi temanmu... mengapa kamu bisa baik dengan siapa aja tapi tidak denganku... apa salahku,Bi...? “, tanya gadis itu perlahan... Bianca tersentak dengan apa yang baru saja dia dengar... Oyi sering cerita tentang aku pada Shela, sedang aku jelas terlihat begitu membenci gadis itu, tanyanya dalam hati... iya, selama ini aku memang dingin padanya, bisik hatinya lagi... cemburukah...???, Bianca menggigit bibir bawahnya, perih... bagaimanapun juga Shelalah yang telah merebut perhatian Shalih dari dirinya... setidaknya perhatian sahabat yang begitu dia sayangi terbelah...untuk dia dan Shela... dan sulit untuk Bianca menerimanya, karena selama ini dia tak pernah berbagi... dia selalu dapatkan sesuatunya utuh... Bianca ingin seluruh perhatian itu... poor,the Narciss Bianca..., Shela begitu tangguh untuk dikalahkan, keluh hatinya... tapi Bianca sayang, haruskah saling mengalahkan...?, gadis lima belas tahun itu meninggalkan Shela seorang diri, dia kangen Shalih, sudah hampir tiga puluh menit menghilang dari bola matanya...
Sejak kelas tiga, Shalih tak lagi menunggu jemputan di rumah Bianca. Dia membonceng Shela pergi dan pulang sekolah. Bianca semakin pilu hatinya. Ditambah lagi setiap kali Shalih main ke rumahnya, selalu ada Shela yang ikut serta... kasihan kalau harus ditinggal main sendiri di rumah, begitu yang dia jelaskan...namun Bianca tak pernah menyukai penjelasan itu... perlahan-lahan Bianca semakin kehilangan Shalih... karena Bianca tak ingin mendekati Shalih yang selalu bersama Shela... dia hanya ingin bersama Shalih yang sendiri... seperti dulu, hanya ada mereka berdua... kelas tujuh, delapan, sembilan Bianca kembali sekelas dengan Shalih, keduanya kembali dekat seperti dulu... namun tetap, Bianca belum bisa menerima Shela... hanya Shela... Dia bisa menerima Kanya teman sekelompok Shalih, bisa menerima Arini yang kadang sering menggoda Shalih atau Rosa yang diam-diam juga suka mendekati Shalih, karena Bian tahu, Shalih akan menomorsatukan dirinya... tapi tidak Shela, karena dengan Shela... tidak ada yang nomor satu dan nomor dua... kedudukannya sama... itu yang tidak bisa ia terima...
***
Deras hujan yang tumpah di sepanjang malam masih menyisakan genangan pada cekungan-cekungan tanah di sekitar halaman rumah klasik bercat putih . Bertelanjang kaki Bianca melangkah mendekati barisan lili yang mulai bermekaran menyambut pagi. Direbahkannya perlahan tubuhnya direrumputan, sekuntum melati yang baru saja gugur dari kelopaknya kini telah berpindah di jemarinya yang lentik
“ Assalamu’alaikum Bidadari...”, lembut suara itu menyentak Bianca dari lamunannya. Sesosok pria tiba-tiba telah turut rebah di sisinya. Setengah terkejut Bianca segera duduk dan merapikan gaun panjangnya. Lelaki itu tetap tenang di tempatnya. Malah dengan sengaja menyungging senyum dan memejamkan kedua matanya. Bianca tertegun menatap sebentuk wajah di hadapannya. Oyi, benarkah ini kamu... ?, bisik hatinya seraya menyembunyikan kedua kakinya yang polos di balik gaun yang ia kenakan...
“...kok bengong, kangen ya...”, godanya seraya membuka kedua matanya dan menatap wanita yang duduk bersimpuh mengamati tirus wajahnya...
“ Hei, it’s me honey... Sha lih, Oyi...dont you remember ? “, tanyanya sambil mengambil posisi duduk disamping wanita yang masih terpana itu.
“ Aku tahu Oyi... tapi kamu... kamu kemana saja selama ini... kamu meninggalkan aku saat pesta perpisahan sekolah tempo hari... kamu dan Shela menghilang sehari setelah itu... kamu... kamu tega sekali, Oyi...kamu... “, Bianca tak sanggup melanjutkan kata-katanya, air matanya tumpah... sisa-sisa kepanikan itu masih tersimpan, kala ia menyadari Shalih bersama keluarganya telah pergi meninggalkan dirinya dan segalanya... berhari-hari Bianca mengurung diri di kamar. Berhari-hari ia ogah makan, ogah menikmati hangatnya mentari, ogah membaca buku-bukunya, ogah tersenyum dan hampir saja ogah melanjutkan kuliahnya...karena Shalih telah tiada... karena Shalih tak lagi ada untuknya... berkali-kali Shalih hadir dalam mimpinya, namun tak pernah menjawab dimana ia berada. Bianca hampir putus asa, hampir... jika saja ia lupa kalau ia masih punya orang tua, kedua makhluk yang dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa untuk dia bahagiakan hidupnya... Bianca tertatih menata hidupnya yang baru... Bianca belia menuju setitik cahaya yang menuntunnya keluar dari penjara yang ia ciptakan sendiri... penjara keegoisan yang berurat nadi... dalam kesunyiannya ia menemukan banyak nama... nama-nama yang kemudian memberi warna dalam hidupnya... nama-nama yang perlahan menentramkan kalutnya dari kehilangan satu nama terkasih yang teramat menyakitkan... terenggut paksa oleh kenyataan hidup yang hingga kini tak pernah ia pahami alasan sebenarnya. Nama-nama yang kemudian mengajaknya mengenal Tuhannya... mengetahui tujuan hidupnya... dari seorang narciss sejati dia berproses menjadi sosok yang rahmatan bagi sekelilingnya...
“ ...aku mengerti kalau kamu marah padaku, tapi kumohon...jangan benci aku Bi, aku punya penjelasan...”, pintanya. Bianca masih membisu... sejujurnya ia rindu, tapi siapa dia berhak rindu... berhakkah ia marah...? hya, sebagai sahabat ia memang sangat kecewa dengan kepergian Shalih yang seolah tak peduli pada perasaan dirinya yang ditinggalkan dalam serba ketidakpastian. Namun sekali lagi, siapa dia...? hanya seorang teman yang begitu menyayanginya dan kini telah menepis jauh-jauh harapan semu yang dia tahu pasti telah ditentukan oleh Rabbnya...
“ ...aku tidak marah... aku ... aku tidak marah”, hanya itu yang sanggup ia ucapkan... lalu dengan cepat ia berlari memasuki rumah dan menutup pintunya rapat-rapat. Dadanya berdegup kencang, air matanya mengalir deras... Oyi bodoh, tentu saja aku rindu padamu... tentu saja aku akan selalu ingat padamu... namun ketahuilah, aku bukan lagi Bianca yang dulu... aku tak lagi senaif kala kita berjumpa untuk pertama dan terakhir kalinya...
Shalih menatap pintu kaca berkusen putih itu dari kejauhan. Dia tak menyangka akan mendapatkan sambutan yang sedingin itu dari sahabat yang begitu ia rindukan. Betapa ingin ia menumpahkan segalanya, termasuk rasa yang telah lama ia simpan rapi di sudut hati... betapa ingin ia kembali ke masa-masa sekolah dulu, kala antara ia dan gadis manis berbando bunga-bunga itu biasa duduk dan bicara dalam diam berjam-jam lamanya. Bercengkerama lewat bahasa mata yang melukis segenap rasa lebih sempurna dari untaian kata-kata yang pernah tercipta. Saling berbagi lewat bisikan keresahan dan erat genggaman kegelisahan. Kau curi dan simpan separuh hatiku pada sudut-sudut ruang perpustakaan minimu, kau biarkan aku panik dan terus mencari bagian hatiku hingga tak sanggup aku benar-benar pergi meninggalkanmu, jerit hati pemuda yang kini melangkahkan kaki meninggalkan halaman rumah itu. Sepasang mata mengamati, di balik kaca rumah ia melepas kepergian pundak kokoh itu untuk yang kedua kalinya. Akankah ia kembali kehilangan ...? pertanyaan itu yang kini menghantui tiap desah nafasnya. Namun ia harus tegar, karena rahasia Illahi pasti kan selalu terjaga...
“ Bunda, Bunda lihat apaan sih...? “, sepasang tangan mungil menarik-narik ujung kerudung sifon Bianca dengan lembut... mata kejora gadis cilik itu mencari-cari sesuatu pada sebentuk wajah yang sangat ia cinta...
“ Bunda sedang melihat kupu-kupu di taman kita... “, jawab Bianca seraya memeluk putri semata wayangnya bersqmq lelaki shalih lain yang telah Allah pilihkan untuknya ... (Eka D. Rifai)

1 komentar:

Ayka Bunda Azka mengatakan...

nih cerita gimana yaaa...
rada aneh emang...
abisna nulisnya emosi banget saat itu...
banyak didominasi khayal demi khayal...hiks...
Shalih...bisakah pembaca menebak siapa shalih ???
sudahlah.... g penting lagi, masa lalu...(cerita ini asli : 100% FIKSI)

Design by Blogger Templates